JAKARTA: Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ternyata belum cukup kuat untuk menyeret seseorang yang melakukan pengiriman e-mail berisi content yang merugikan pihak tertentu ke jalur hukum.
Kamilov Sagala, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI), mengatakan UU ITE belum memiliki turunan berupa peraturan pemerintah (PP), sehingga batasan yang jelas terhadap masalah yang masih abu-abu juga belum ada.
"Apalagi masih ada pasal yang diajukan ke tingkat judicial review. Penyidik harus berhati-hati karena dari kekuatan hukum UU ini juga belum pasti, apalagi usianya belum setahun," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.
Mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu juga menjelaskan setiap informasi yang disampaikan melalui Internet, selama hanya disebarluaskan dalam ruang lingkup pribadi seharusnya tidak bisa dituntut.
Masalahnya, batasan ruang lingkup pribadi kini masih abu-abu dan masih harus dijabarkan secara detail dalam PP turunan UU ITE yang masih dalam bentuk rancangan saat ini.
Departemen Komunikasi dan Informatika meminta masyarakat tidak perlu khawatir kehilangan kebebasan mengutarakan pendapat di Internet, terkait dengan kasus tuntutan RS Omni Internasional Tangerang yang menyeret seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari ke jeruji besi sebelum kasusnya masuk ke pengadilan.
Setelah 20 hari ditahan, ibu dua anak itu dibebaskan dan hanya dikenai tahanan kota.
Tulisan Prita yang beredar luas di Internet semula hanya ditujukan untuk lingkup pribadi, di milis kepada keluarga dan teman saja. Ketika e-mail tersebut menyebar, itu di luar kuasa penulis.
"Dalam posisi Prita, seharusnya dia tidak dipidanakan, karena yang menyebarkannya keluar dari milis bukan dia, sudah pihak ketiga. Apalagi untuk sebuah pencemaran nama baik harus ada bukti lebih jauh," ujar Kamilov.
Kamilov mengatakan isi surat elektronik yang disampaikan Prita memiliki unsur informasi kepada publik, seharusnya dilindungi. "Apabila dianggap mencemarkan nama baik, harus jelas batasannya, padahal penjelasannya di PP yang belum ada."
Gatot S. Dewa Broto, Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo, mengatakan persoalan hukum yang dipicu oleh pengiriman e-mail seharusnya tidak bisa semudah itu.
"Acuannya bukan hanya UU ITE dan KUHP, juga ada UU Telekomunikasi No. 36/1999 yang melarang orang lain mengakses content e-mail orang lain," ujarnya.
UU ITE sendiri, lanjutnya, masih lemah untuk menjerat seorang pengirim e-mail ke dalam penjara, terutama apabila melihat pasal 27.
Sejumlah praktisi Internet, warung Internet, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pernah mengajukan judicial review terkait dengan pasal 27 UU ITE karena akan menghambat hak publik untuk berekspresi dan menyampaikan pendapatnya.
Tak menakutkan
Gatot mengungkapkan kasus Prita tersebut tidak serta-merta menjadikan judicial review tersebut bisa diterima Mahkamah Konstitusi.
"UU ITE tidak menakutkan, dan tidak ada yang salah dengan Pasal 27 UU ITE. UU tersebut diharapkan mencegah kejahatan dunia maya. Pengguna Internet masih bisa bebas mengirim e-mail dan berekspresi karena dilindungi UU Telekomunikasi." Indonesia Security Incident Responses Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII) pun tidak bisa seenaknya membuka e-mail tanpa izin tertulis dari Jaksa Agung, penyedia jasa Internet, dan provider e-mail.
Februari lalu beberapa pihak mengajukan judicial review UU ini kepada Mahkamah Konstitusi yang kemudian diputuskan ditolak 2 bulan kemudian.
Para pemohon menuntut pasal 27 Ayat 3 dalam UU No.11/2008 tentang ITE bertentangan dengan UUD 1945 dalam Pasal 1 Ayat 2 dan 3, Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28, Pasal 28C Ayat 1dan 2, Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28E Ayat 2 dan 3, Pasal 28F, dan Pasal 28G Ayat 1.
Pasal 27 ayat 3 berada pada Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang. Pasal tersebut berisi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/mentransmisikan dan/membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
UU ITE juga dinilai memberatkan dan membingungkan para pengguna media elektronik. Dalam perkembangan sidang perkara uji materi, saksi ahli yang dihadirkan pemohon meminta MK membatalkan UU tersebut.
"UU ini tidak perlu mengatur hal yang sudah ada dalam aturan sebelumnya karena berpotensi menimbulkan kerancuan dan akhirnya membuat masyarakat takut," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Warnet Komunitas Telematika Rudi Rusdiah, salah satu penggagas judicial review. (Arif Pitoyo) (fita.indah@bisnis.co.id)
Oleh Fita Indah Maulani
Sumber Bisnis Indonesia : Edisi Minggu | Kamis, 4 Juni 2009
0 komentar:
Posting Komentar