Information and Communication Technologi Clinic

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), begitulah terjemahan dari INFORMATION and COMUNICATION TECHNOLOGI (ICT). Teknologi Informasi dan Komunikasi, adalah deretan tiga suku kata yang saat ini lagi akrab dibibir orang, khususnya di lingkungan pendidikan atau kelompok birokrasi, bahkan belakangan ini, juga termasuk golongan-golongan masyarakat tertentu.

Memahami Teknologi informasi dan komunikasi, tidak hanya menyandarkan pada pengertian tiga suku kata di atas. Tetapi lebih dari itu harus dipahami lebih dalam, mengapa tiga suku kata itu harus dipadu menyadi satu kalimat yang tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran TIK. Itu mengartikan, bahwa tiga kata dasar itu, masing-masing memiliki nilai kekuatan dan pengaruh tersendiri dalam peradaban kehidupan manusia.

Sebagai bukti yang logis dari kekuatan-kekuatan itu, yakni disadari atau tidak, bahwa aktivitas yang sedang berlangsung dilakukan manusia saat ini, pada hakikatnya adalah mengelola informasi yang diterima sebelumnya. Disadari atau tidak pula, bahwa keberadaan informasi itu sendiri lahir karena adanya komunikasi. Demikian pula terhadap komunikasi, itu dapat terjadi karena tidak lepas dari media (teknologi) sebagai alat pengantar maksud dan tujuan.

Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, maka ICT atau TIK yang menjadi medan garapan ilmu pengetahuan dari ICT CLINIC di SDN 1 Tilote adalah; Teknologi Informasi dan Komunikasi, BUKAN “Informasi Komunikasi dan Teknologi“. Hal ini cukup beralasan, karena informasi komunikasi dan teknologi, pengertiannya adalah informasi tentang komunikasi dan informasi tentang teknologi. Dengan demikian informasi komunikasi dan teknologi, hanyalah terbatas pada pengetahuan saja, dan bukan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sifat dari informasi komunikasi dan teknologi, mudah ditemui atau diperoleh, hanya dengan cukup nonton televisi, dengar radio, maupun baca koran saja.

Sedangkan Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah identik dengan ilmu pengetahuan. Yaitu teknologi tentang informasi dan teknologi tentang komunikasi. Karena itu pula, teknologi informasi dan komunikasi tidak terbatas pada pengetahuan saja, tetapi justru berada pada level garapan sebuah studi “ilmu pengetahuan”. Dengan sendirinya, untuk menguasai teknologi informasi dan komunikasi, tidak semudah kita nonton televisi, dengar radio, ataupun baca koran. Melainkan diperoleh hanya melalui teori dan praktek pendidikan tertentu saja.

Pada unsur kata Teknologi, Informasi, Komunikasi inilah, mengapa ICT Clinic harus dihadirkan ditengah-tengah para anak didik sekolah yang ada di SDN 1 Tilote. Dengan TIK ini, para anak didik akan diarahkan pada pengenalan, penguasaan, dan pembentukan peradaban teknologi yang berbudaya.

Pengenalan, penguasaan, dan pembentukan peradaban teknologi pada tingkat anak didik ini, dimaksudkan karena alasan dinamika dunia pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menuju pada suatu jenjang peradaban dunia pendidikan dan kehidupan yang lebih baik, ICT Clinic khususnya di SDN 1 Tilote telah memiliki “TAKTIK”. Artinya; Tidak Ada Kehidupan yang baik (peradaban), tanpa menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Muhajirin AHM

Sabtu, 11 Juli 2009

Peranan Sosiologi Terhadap Dunia Pendidikan

Dalam pengertian sederhana, sosiologi pendidikan memuat analisis-analisis ilmiah tentang proses interaksi sosial yang terkait dengan aktivitas pendidikan baik dari lingkup keluarga, kehidupan sosio-kultur masyarakat maupun pada taraf konstelasi di tingkat nasional. Sehingga dari sini bisa di dapat sebuah gambaran objektif tentang relasi-relasi sosial yang menyusun konstruksi total realitas pendidikan di negara kita. Sampai pada pemahaman tersebut segala bentuk wawasan dan pengetahuan sosiologis guna membedah tubuh pendidikan kita menjadi perlu untuk dibahas agar proses-proses pengajaran tidak bias ke arah yang kurang relevan dengan kebutuhan bangsa.

Di sisi lain, jika perhatian kita tertuju pada lembaran sejarah perkembangan pendidikan masyarakat Indonesia, produk kemajuan sosial, meningkatnya taraf hidup rakyat, akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan penerapan inovasi teknologi merupakan bagian dari prestasi gemilang hasil jerih payah lembaga pendidikan kita dalam upaya memajukan kehidupan bangsa Indonesia.

Meningkatnya jumlah kaum terpelajar telah menjadi bahan bakar lajunya lokomotif kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Akan tetapi, beberapa kendala yang melingkari dunia pendidikan dalam kaitan dengan menurunnya kualitas output pendidikan kita menjadi bukti bahwa wajah persekolahan kita memerlukan banyak perbaikan. Melihat keberadaan sekolah begitu penting bagi eksistensi dan keberlangsungan pendidikan di negara kita maka topik ini akan mengarahkan lingkup kajian sosiologisnya kepada hakikat peran dan fungsi lembaga sekolah sebagai lembaga pendidikan. Tiga sub-judul berikutnya akan menindaklanjuti fokus pembahasan dengan titik tekan yang lebih spesifik. Pada sub-judul pertama, banyak digali tentang hubungan-hubungan sosial di dunia pendidikan dalam wadah organisasi formal. Di sini kriteria sekolah sebagai salah satu wujud organisasi formal ditinjau dari kaitan unsur-unsur sosial pendukungnya dalam proses mencapai tujuan pendidikan. Pada sub judul kedua lebih menyoroti konteks transaksi pendidikan di ruang kelas. Hal ini ditekankan, sebab ruang kelas merupakan representasi dari proses-proses pendidikan yang sesungguhnya, karena di dalamnya telah melibatkan komponen-komponen belajar mengajar secara langsung. Sedangkan pada sub judul yang ketiga, tinjauannya bertolak dari kenyataan bahwa sekolah tidak bisa lepas dari hubungan wadah eksternalnya.

Kondisi sosio-kultur masyarakat tidak bisa tidak merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap proses-proses pendidikan di sekolah. Tiga batasan tinjauan di atas akan dipaparkan sebagai upaya untuk menyajikan beberapa manfaat analisis sosiologis terhadap dunia pendidikan. Selengkapnya....

Analisa UU ITE

UU ITE datang membuat situs porno bergoyang dan sebagian bahkan menghilang? Banyak situs porno alias situs lendir ketakutan dengan denda 1 miliar rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. Padahal sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Apakah UU ITE sudah lengkap dan jelas? Ternyata ada beberapa masalah yang terlewat dan juga ada yang belum tersebut secara lugas didalamnya. Ini adalah materi yang saya angkat di Seminar dan Sosialisasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diadakan oleh BEM Fasilkom Universitas Indonesia tanggal 24 April 2008. Saya berbicara dari sisi praktisi dan akademisi, sedangkan di sisi lain ada pak Edmon Makarim yang berbicara dari sudut pandang hukum. Tertarik? Klik lanjutan tulisan ini. Oh ya, jangan lupa materi lengkap plus UU ITE dalam bentuk PDF bisa didownload di akhir tulisan ini.

CYBERCRIME DAN CYBERLAW

UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia Internet (siber), termasuk didalamnya memberi punishment terhadap pelaku cybercrime. Nah kalau memang benar cyberlaw, perlu kita diskusikan apakah kupasan cybercrime sudah semua terlingkupi? Di berbagai literatur, cybercrime dideteksi dari dua sudut pandang:

Kejahatan yang Menggunakan Teknologi Informasi Sebagai Fasilitas: Pembajakan, Pornografi, Pemalsuan/Pencurian Kartu Kredit, Penipuan Lewat Email (Fraud), Email Spam, Perjudian Online, Pencurian Account Internet, Terorisme, Isu Sara, Situs Yang Menyesatkan, dsb.

Kejahatan yang Menjadikan Sistem Teknologi Informasi Sebagai Sasaran: Pencurian Data Pribadi, Pembuatan/Penyebaran Virus Komputer, Pembobolan/Pembajakan Situs, Cyberwar, Denial of Service (DOS), Kejahatan Berhubungan Dengan Nama Domain, dsb.

Cybercrime menjadi isu yang menarik dan kadang menyulitkan karena:
  • Kegiatan dunia cyber tidak dibatasi oleh teritorial negara,
  • Kegiatan dunia cyber relatif tidak berwujud,
  • Sulitnya pembuktian karena data elektronik relatif mudah untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirimkan ke seluruh belahan dunia dalam hitungan detik,
  • Pelanggaran hak cipta dimungkinkan secara teknologi,
  • Sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan hukum konvensional. Analogi masalahnya adalah mirip dengan kekagetan hukum konvensional dan aparat ketika awal mula terjadi pencurian listrik. Barang bukti yang dicuripun tidak memungkinkan dibawah ke ruang sidang. Demikian dengan apabila ada kejahatan dunia maya, pencurian bandwidth, dsb
Contoh gampangnya rumitnya cybercrime dan cyberlaw:
  • Seorang warga negara Indonesia yang berada di Australia melakukan cracking sebuah server web yang berada di Amerika, yang ternyata pemilik server adalah orang China dan tinggal di China. Hukum mana yang dipakai untuk mengadili si pelaku?
  • Seorang mahasiswa Indonesia di Jepang, mengembangkan aplikasi tukar menukar file dan data elektronik secara online. Seseorang tanpa identitas meletakkan software bajakan dan video porno di server dimana aplikasi di install. Siapa yang bersalah? Dan siapa yang harus diadili?
  • Seorang mahasiswa Indonesia di Jepang, meng-crack account dan password seluruh professor di sebuah fakultas. Menyimpannya dalam sebuah direktori publik, mengganti kepemilikan direktori dan file menjadi milik orang lain. Darimana polisi harus bergerak?
INDONESIA DAN CYBERCRIME
Paling tidak masalah cybercrime di Indonesia yang sempat saya catat adalah sebagai berikut:
  • Indonesia meskipun dengan penetrasi Internet yang rendah (8%), memiliki prestasi menakjubkan dalam cyberfraud terutama pencurian kartu kredit (carding). Menduduki urutan 2 setelah Ukraina (ClearCommerce)
  • Indonesia menduduki peringkat 4 masalah pembajakan software setelah China, Vietnam, dan Ukraina (International Data Corp)
  • Beberapa cracker Indonesia tertangkap di luar negeri, singapore, jepang, amerika, dsb
  • Beberapa kelompok cracker Indonesia ter-record cukup aktif di situs zone-h.org dalam kegiatan pembobolan (deface) situs
  • Kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus (APJII)
  • Sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun (AKKI)
  • Layanan e-commerce di luar negeri banyak yang memblok IP dan credit card Indonesia. Meskipun alhamdulillah, sejak era tahun 2007 akhir, mulai banyak layanan termasuk payment gateway semacam PayPal yang sudah mengizinkan pendaftaran dari Indonesia dan dengan credit card Indonesia
Indonesia menjadi tampak tertinggal dan sedikit terkucilkan di dunia internasional, karena negara lain misalnya Malaysia, Singapore dan Amerika sudah sejak 10 tahun yang lalu mengembangkan dan menyempurnakan Cyberlaw yang mereka miliki. Malaysia punya Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) 1997, Communication and Multimedia Act (Akta Komunikasi dan Multimedia) 1998, dan Digital Signature Act (Akta Tandatangan Digital) 1997. Singapore juga sudah punya The Electronic Act (Akta Elektronik) 1998, Electronic Communication Privacy Act (Akta Privasi Komunikasi Elektronik) 1996. Amerika intens untuk memerangi child pornography dengan: US Child Online Protection Act (COPA), US Child Pornography Protection Act, US Child Internet Protection Act (CIPA), US New Laws and Rulemaking.

Jadi kesimpulannya, cyberlaw adalah kebutuhan kita bersama. Cyberlaw akan menyelamatkan kepentingan nasional, pebisnis Internet, para akademisi dan masyarakat secara umum, sehingga harus kita dukung. Nah masalahnya adalah apakah UU ITE ini sudah mewakili alias layak untuk disebut sebagai sebuah cyberlaw? Kita analisa dulu sebenarnya apa isi UU ITE itu.

MUATAN UU ITE

Secara umum, bisa kita simpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Muatan UU ITE kalau saya rangkumkan adalah sebagai berikut:
  • Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas)
  • Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
  • UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia
  • Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
  • Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
  • Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
  • Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
  • Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
  • Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
  • Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
  • Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
  • Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising?))
PASAL KRUSIAL

Pasal yang boleh disebut krusial dan sering dikritik adalah Pasal 27-29, wa bil khusus Pasal 27 pasal 3 tentang muatan pencemaran nama baik. Terlihat jelas bahwa Pasal tentang penghinaan, pencemaran, berita kebencian, permusuhan, ancaman dan menakut-nakuti ini cukup mendominasi di daftar perbuatan yang dilarang menurut UU ITE. Bahkan sampai melewatkan masalah spamming, yang sebenarnya termasuk masalah vital dan sangat mengganggu di transaksi elektronik. Pasal 27 ayat 3 ini yang juga dipermasalahkan juga oleh Dewan Pers bahkan mengajukan judicial review ke mahkamah konstitusi. Perlu dicatat bahwa sebagian pasal karet (pencemaran, penyebaran kebencian, penghinaan, dsb) di KUHP sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.

Para Blogger patut khawatir karena selama ini dunia blogging mengedepankan asas keterbukaan informasi dan kebebasan diskusi. Kita semua tentu tidak berharap bahwa seorang blogger harus didenda 1 miliar rupiah karena mempublish posting berupa komplain terhadap suatu perusahaan yang memberikan layanan buruk, atau posting yang meluruskan pernyataan seorang “pakar” yang salah konsep atau kurang valid dalam pengambilan data. Kekhawatiran ini semakin bertambah karena pernyataan dari seorang staff ahli depkominfo bahwa UU ITE ditujukan untuk blogger dan bukan untuk pers Smiley Pernyataan ini bahkan keluar setelah pak Nuh menyatakan bahwa blogger is a part of depkominfo family. Padahal sudah jelas bahwa UU ITE ditujukan untuk setiap orang.

YANG TERLEWAT DAN PERLU PERSIAPAN DARI UU ITE

Beberapa yang masih terlewat, kurang lugas dan perlu didetailkan dengan peraturan dalam tingkat lebih rendah dari UU ITE (Peraturan Menteri, dsb) adalah masalah:

Spamming, baik untuk email spamming maupun masalah penjualan data pribadi oleh perbankan, asuransi, dsb

Virus dan worm komputer (masih implisit di Pasal 33), terutama untuk pengembangan dan penyebarannya

Kemudian juga tentang kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE. Amerika, China dan Singapore melengkapi implementasi cyberlaw dengan kesiapan aparat. Child Pornography di Amerika bahkan diberantas dengan memberi jebakan ke para pedofili dan pengembang situs porno anak-anak

Terakhir ada yang cukup mengganggu, yaitu pada bagian penjelasan UU ITE kok persis plek alias copy paste dari bab I buku karya Prof. Dr. Ahmad Ramli, SH, MH berjudul Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. Kalaupun pak Ahmad Ramli ikut menjadi staf ahli penyusun UU ITE tersebut, seharusnya janganlah terus langsung copy paste buku bab 1 untuk bagian Penjelasan UU ITE, karena nanti yang tanda tangan adalah Presiden Republik Indonesia. Mudah-mudahan yang terakhir ini bisa direvisi dengan cepat. Mahasiswa saja dilarang copas apalagi dosen hehehehe

KESIMPULAN

UU ITE adalah cyberlaw-nya Indonesia, kedudukannya sangat penting untuk mendukung lancarnya kegiatan para pebisnis Internet, melindungi akademisi, masyarakat dan mengangkat citra Indonesia di level internasional. Cakupan UU ITE luas (bahkan terlalu luas?), mungkin perlu peraturan di bawah UU ITE yang mengatur hal-hal lebih mendetail (peraturan mentri, dsb). UU ITE masih perlu perbaikan, ditingkatkan kelugasannya sehingga tidak ada pasal karet yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang tidak produktif

UPDATE (25 April 2008): UU ITE telah mendapatkan nomor dan ditandatangani oleh Presiden SBY pada tanggal 21 April 2008. UU ITE menjadi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara No 58 dan Tambahan Lembaran Negara No 4843

Ditulis oleh Romi Satrio Wahono

Sumber: http://romisatriawahono.net/2008/04/24/analisa-uu-ite/

Download UU-ITE

http://www.jisportal.com/forum/index.php?topic=1142.0

"Blogger" Terancam UU ITE

Pikiran Rakyat ONLINE | BERINTERAKSI melalui dunia maya kian menjadi kebutuhan. Melalui wadah blog, misalnya, para penggunanya bisa mengekspresikan diri dengan bebas secara mudah, murah, dan cepat. Para pemilik blog tidak hanya perorangan, melainkan lembaga, komunitas, dan lain sebagainya. Melalui blog, mereka saling bertukar informasi dan berekspresi, sehingga sarana ini kian menjawab kebutuhan informasi.

Akhir-akhir ini, pengguna blog ekstra waspada. Pasalnya, jika materi blog dianggap menghina seseorang, pemilik blog tersebut bisa diancam pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar. Adalah Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan ancaman itu. Secara lengkap, ayat itu berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Selanjutnya, tercantum di Pasal 45 UU ITE, sanksi pidana bagi pelanggar pasal 27 ayat (3) yaitu penjara enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.

Kehadiran pasal itu membuat geram para blogger, lembaga swadaya masyarakat pemilik situs, dan para pengelola situs berita online. Mereka merasa terancam haknya menyiarkan tulisan, berita, dan bertukar informasi melalui dunia maya. Pasal itu dianggap ancaman terhadap demokrasi. Kini, mereka ramai-ramai mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (3) UU ITE kepada Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.

Contoh kasus yang tejerat pasal tersebut dialami Narliswiandi Piliang alias Iwan Piliang yang menjadi tersangka pencemaran nama baik atas laporan anggota DPR RI Fraksi PAN Alvin Lie. Iwan dijerat hukuman enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar terkait tulisannya di blog pribadinya. Tulisan Iwan dalam blog tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik sehingga dianggap melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sebagai upaya membela diri, Iwan mengajukan permohonan uji materi pasal yang digunakan untuk menjeratnya itu.

Saat ini, proses persidangan uji materi Pasal 27 ayat (3) UU ITE masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Kuasa hukum Iwan Piliang, Wasis Susetio mengaku sedang mempersiapkan saksi ahli untuk dihadirkan dalam sidang selanjutnya. "Kami akan mendatangkan saksi ahli di antaranya Onno W. Purbo," ujar Wasis. (Lina Nursanty/"PR")***

Sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

Jumat, 10 Juli 2009

PENGGUNAAN ICT (INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGY) DALAM PEMBELAJARAN

PERSPEKTIF MATA PELAJARAN MATEMATIKA,IPA,IPS DAN PKN

DI SEKOLAH


Oleh : Drs.Akhmad Solikhin, S.Pd, MM

(Dosen Fakultas Psikologi UPI YAI)


1. e-Learning

Elektronik atau belajar dengan bantuan komputer sudah ada sejak 1970.

Dengan menggunakan monitor layar hijau melalui sebuah komputer mainframe berkecepatan rendah, tetapi apakah metode tersebut dapat dikatakan sebagai e-Learning. Tentu saja hal tersebut bukan merupakan jawaban yang tepat mengenai e-Learning. Tanpa definisi yang jelas mengenai e-Learning, sangatlah sulitmemutuskan benar atau tidak untuk disebut sebagai e-Learning.

1.1. Definisi e-Learning

Berbagai pendapat dikemukan untuk dapat mendefinisikan e-Learning secara tepat. e-Learning sendiri adalah salah satu bentuk dari konsep Distance Learning..Bentuk e-Learning sendiri cukup luas, sebuah portal yang berisi informasi ilmu pengetahuan sudah dapat dikatakan sebagai situs e-Learning. E-Learning atau Internet enabled learning menggabungkan metode pengajaran dan teknologi sebagai sarana dalam belajar. (Dr. Jo Hamilton-Jones).e-Learning adalah proses belajar secara efektif yang dihasilkan dengan cara menggabungkan penyampaian materi secara digital yang terdiri dari dukungan danlayanan dalam belajar. (Vaughan Waller, 2001) 6

Definisi lain dari e-Learning adalah proses instruksi yang melibatkan penggunaan peralatan elektronik dalam menciptakan, membantu perkembangan,menyampaikan, menilai dan memudahkan suatu proses belajar mengajar dimana pelajar sebagai pusatnya serta dilakukan secara interaktif kapanpun dan dimanapun.

1.2. Konsep e-Learning

Metode pengajaran tradisional masih kurang efektif jika dibandingkan dengan metode pengajaran modern. Sistem e-Learning diharapkan bukan sekedar menggantikan tetapi diharapkan pula untuk dapat menambahkan metode dan materi pengajaran tradisional seperti diskusi dalam kelas, buku, CD-ROM dan pelatihan komputer non internet.

Berbagai elemen yang terdapat dalam sistem e-Learning adalah :

* Soal-soal : materi dapat disediakan dalam bentuk modul, adanya soalsoal yang disediakan dan hasil pengerjaannya dapat ditampilkan. Hasil tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur dan pelajar mendapatkan apa yang dibutuhkan.

* Komunitas : para pelajar dapat mengembangkan komunitas online untuk memperoleh dukungan dan berbagi informasi yang saling menguntungkan.

* Pengajar online : para pengajar selalu online untuk memberikan arahan kepada para pelajar, menjawab pertanyaan dan membantu dalam diskusi.

* Kesempatan bekerja sama : Adanya perangkat lunak yang dapat mengatur pertemuan online sehingga belajar dapat dilakukan secara bersamaan atau realtime tanpa kendala jarak.

* Multimedia : penggunaan teknologi audio dan video dalam penyampaian materi sehingga menarik minat dalam belajar.

2. Kelebihan dan Kekurangan e-Learning

2.1. Kelebihan e-Learning

Dalam bentuk beragam, e-Learning menawarkan sejumlah besar keuntungan yang tidak ternilai untuk pengajar dan pelajar :

  1. Pengalaman pribadi dalam belajar : pilihan untuk mandiri dalam belajarmenjadikan siswa untuk berusaha melangkah maju, memilih sendiri peralatanyang digunakan untuk penyampaian belajar mengajar, mengumpulkan bahanbahan sesuai dengan kebutuhan.

  2. Mengurangi biaya : lembaga penyelenggara e-Learning dapat mengurangi bahkan menghilangkan biaya perjalanan untuk pelatihan, menghilangkan biaya pembangunan sebuah kelas dan mengurangi waktu yang dihabiskan oleh pelajaruntuk pergi ke sekolah.

  3. Mudah dicapai: pemakai dapat dengan mudah menggunakan aplikasi e-Learningdimanapun juga selama mereka terhubung ke internet. e-Learning dapat dicapaioleh para pemakai dan para pelajar tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu.

  4. Kemampuan bertanggung jawab : Kenaikan tingkat, pengujian, penilaian, dan pengesahan dapat diikuti secara otomatis sehingga semua peserta (pelajar,pengembang dan pemilik) dapat bertanggung jawab terhadap kewajiban merekamasing- masing di dalam proses belajar mengajar.

  5. ICT dapat menghadirkan informasi baru sehingga membantu siswa memahami hal-hal yang belum dipahami.

  6. Menggunakan ICT bagi guru pada hakekatnya mengembangkan cara mengajar sesuai dengan kemajuan tehnologi terutama dapat mengikuti perkembangan Negara-negara maju.

  7. Merangsang daya kreatifitas berpikir siswa.

2.2. Kekurangan e-Learning

Beberapa kekurangan yang dimiliki oleh pemanfaatan e-Learning:

  1. Kurangnya interaksi antara pengajar dan pelajar atau bahkan antar pelajar itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar mengajar.

  2. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial.

  3. Proses belajar mengajar cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan.

  4. Berubahnya peran pengajar dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT (Information, Communication and Technology).

  5. Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet ( mungkin hal ini berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer).

  6. Kurangnya mereka yang mengetahui dan memiliki keterampilan tentang internet.

  7. Kurangnya penguasaan bahasa komputer.

3. Pengenalan Praktis e learning.

Penggunaan ICT dalam pendidikan meliputi 2 hal yaitu aspek pengajaran yang melibatkan guru menggunakan ICT dan aspek pembelajaran yang melibatkan murid menggunakan ICT.

Mengapa kita menggunakan ICT ?

  • Meningkatkan pemahaman terhadap pelajaran.

  • Meningkatkan motivasi.

  • Memberikan murid menentukan pembelajaran sendiri

  • Mengakses informasi yang sukar diperoleh.

  • Meningkatkan kreativitas.

  • Meningkatkan kemahiran ICT.

3.1. Penggunaan ICT dalam Pengajaran dan pembelajaran.

(a) Tutorial.

ICT digunakan untuk pembelajaran tutorial apabila digunakan untuk menyampaikan informasi/pelajaran berdasarkan urutan urutan yang telah ditetapkan.

Pembelajaran tutorial meliputi :

  • Pembelajaran ekspositori yaitu penjelasan terperinci.

  • Demonstrasi dan latihan.

(b) Eksplorasi.

Penggunaan ICT untuk pembelajaran berlaku apabila ICT digunakan sebagai media untuk :

  • mencari dan mengakses informasi dari internet.

  • melihat demonstrasi sesuatu kejadian sesuai urutan dengan software dan hardware.

(c). Alat aplikasi.

ICT dikatakan sebagai alat aplikasi apabila membantu murid melaksanakan tugas.

Contoh : - membuat dan menganalisa diagram dalam pelajaran matematika.

(d) Komunikasi.

ICT dikatakan sebagai alat untuk memudahkan komunikasi antara guru dengan murid dalam mengirim,dan menerima informasi.

4. Contoh – contoh praktis e learning dalam kelas.

4.1. Pembelajaran dengan Internet.

Kompetensi Dasar : Siswa dapat mendiskripsikan system tata surya secara sederhana

Langkah 1

Murid diminta membuka sumber informasi melalui web pada mesin pencari seperti : http://www.google.com atau http://www.msn.com atau http://www.yahoo.com .

Langkah 2

Ketik “ Tatasurya “ pada kolom mesin pencari lalu klik.

Langkah 3

Setelah muncul beberapa home page atau website, maka suruh siswa memilih salah satunya.Kemudian berikan waktu kepada siswa untuk membaca artikel .

(Biarkan siswa mengakses web atau home page yang berbeda)

Langkah 4

Siswa ditugaskan membuat rangkuman dari web atau home page yang telah dibaca.

Langkah 5

Siswa secara bergiliran mempresentasikan hasil kerjanya dan menyebutkan sumbernya.

Langkah 6

Siswa dengan bantuan guru membuat rangkuman dan kesimpulan .

Catatan :

Langkah langkah ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan dalam pembelajaran.

4.2. Pembelajaran menggunkan e-mail (Elektronik Mail)

Syarat utamanya :

  • Guru dan siswa harus mempunyai email

  • Sekolah mempunyai website

Langkah 1

Guru merumuskan soal pada website sekolah pada kolom yang ditentukan (akademik, evaluasi)

Langkah 2

Siswa disuruh mengakses tugas / soal melalui web site sekolah sesuai dengan kolom yang ditentukan.

Langkah 3

Siswa menjawab pertanyaan/mengerjakaan tugas di e-mail masing-masing dan dikirim (repaly) ke e-mail guru

Langkah 4

Guru mengoreksi jawaban siswa dan mereplay hasil (koreksi atau nilai) dan direplay ke email masing masing siswa.

4.3 Pembelajaran menggunakan Soft Ware Pendidikan ( Education Software )

Langkah 1

Guru harus mengeksplor terlebih dulu software pendidikan yang akan digunakan.

Langkah 2

Guru membuat scenario pembelajaran sesuai dengan content software

Langkah 3

Guru mengajar dengan menggunakan software tersebut dengan tetap memperhatikan bahwa software hanya sebagai alat Bantu mengajar.

Sumber : Media Artikel PsikoMedia.com

Selasa, 07 Juli 2009

Pendidikan Abad 21, Menuntut Guru untuk Berubah!

21st Century TeacherPerubahan jaman dan kemajuan teknologi telah merubah perilaku manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini berdampak pula pada proses pendidikan, dimana para pendidik harus pula mempersiapkan diri akan perubahan ini.

Di tempat kerja abad ke-21 para pekerja : Menganalisis, mengubah, dan menciptakan informasi. Mereka juga bekerjasama dengan rekan kerja untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan. Selain itu mereka mengerjakan berbagai macam tugas yang rumit dengan menggunakan teknologi canggih.

Sedangkan di rumah abad ke-21 para anggota keluarga : Menikmati hiburan dengan menonton, membuat, dan berpartisipasi dalam berbagai macam media. Mereka juga membuat keputusan untuk membeli sesuatu dengan cara mencari informasi di Internet. Dan mulai terbiasa saling berhubungan dengan teman dan anggota keluarga melalui berbagai macam teknologi (telepon, internet, handphone, dll). selengkapnya...

MEMPOSISIKAN PEKERJA SOSIAL SEBAGAI KETAHANAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT DI INDONESIA

Oleh : DASUKI

Abstraksi
Era globalisasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat dan pesat dewasa ini mempunyai konsekuensi logis bagi profesionalisme sumberdaya manusia disegala bidang maka bilamana hal ini tidak kita sikapi positip dengan meningkatkan sumberdaya kita jelas akan akibatnya arus (fenomena) sumberdaya luar (asing) akan masuk, adanya kecendrungan rekruitment tenaga kerja saat ini mengsyaratkan kualifikasi / kompetensi tertentu, hal ini menggugah dan mendorong para penyandang profesi untuk bersikap !, lalu bagaimana dengan pekerja sosial?

Profesionalisme suatu profesi yang menjadi suatu tuntutan yang perlu diwujudkan guna melindungi konsumen, pengguna dan profesi itu sendiri. Pekerja sosial suatu profesi dibidang sosial. Pekerja sosial sebagai profesi utama di bidang kesejahteraan sosial telah lama ikut mengambil tanggung jawab yang besar dalam membantu indivu, keluarga, kelompok dan masyarakat dalam memecahkan masalah sosial mereka, memperkuat dan mengembangkan lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, melaksanakan proses sosialisasi dan adaptasi sosial dalam mencapai derajat kesejahteraan sosial yang lebih baik, maka salah satu langkah yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan adalah bagaimana memposisikan pekerja sosial sebagai ketahanan sosial masyarakat dalam pengembangan tata keperintahan desentralisasi dewasa ini.

Kebijakan dan strategi nasional dalam pengembangan E-Governement, tertuang dalam Inspres nomor: 3/2003 yaitu dimaksudkan bahwa kemajuan Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) yang pesat serta potensi pemenfaatannya secara luas membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar secara cepat dan akurat. Bahwa dengan pemamfaatan TIK akankah peran pekerja sosial dalam proses pemerintahan (e-government) dapat membantu meningkatkan efisiensi, efectivitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan kepemerintahan. selengkapnya....

MENUJU MASYARAKAT INFORMASI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak tahun 80-an, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dunia menyediakan banyak kesempatan untuk maju, tetapi bagi negara-negara berkembang kesempatan itu belum bisa digunakan. Saat ini negara-negara maju telah melewati era industri dan era informasi, sedang negara-negara berkembang belum menjadi negara industri, namun harus dihadapkan pada era teknologi informasi dan komunikasi. Ini adalah suatu tantangan bagi negara berkembang, di satu sisi harus melaksanakan pembangunan tetapi di sisi lain harus mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dapat menghantarkan suatu negara menjadi negara yang mampu bersaing di era pasar bebas yang semakin kompetitif ini. Maka mau tidak mau, siap tidak siap Indonesia sebagai negara berkembang, sejak dini harus mempersiapkan diri menghadapi era teknologi informasi dan komunikasi apabila tidak mau tertinggal dan kalah bersaing dengan negara lain. Di sinilah diperlukan berbagai upaya dari semua fihak yang terkait untuk dapat mewujudkannya. selengkapnya.........


Kamis, 02 Juli 2009

Level Pemanfaatan ICT di Sekolah

UNESCO (2002) mengelompokkan level pemanfaatan TIK di sekolah kedalam empat level, yaitu level emerging, applying, infusing/integrating, dan transforming. Apa karakteristiknya? Mari kita lihat atu persatu ..

Emerging

Adalah tahap paling awal, dimana pihak sekolah secara individual (beberapa orang) baru merasa pentingnya potensi TIK untuk pembelajaran. Tahap ini memiliki ciri sebagai berikut:

  • dari sisi visi; tidak ada visi, hanya timbul secara sporadis dari beberapa pihak tertentu, misal guru, komite sekolah, belum ada kebijakan langsung yang dikeluarkan secara resmi oleh sekolah.
  • dari sisi pedagogis; pembelajaran masih tetap bersifat didaktik alias teacher-centered, dimana guru masih berperan sebagai pemberi informasi dan sumber belajar utama disamping buku.
  • dari sisi perencanaan dan kebijakan; belum ada kebijakan apalagi masuk dalam rencana sekolah. masih bersifat sporadis, insidental, tanpa rencana apalagi pendanaan yang memadai.
  • dari sisi fasilitas TIK, keberadaannya masih belum tertata dengan baik, lebih diutamakan untuk kebutuhan administratif.
  • dari sisipemanfaatannya dalam kurikulum/pembelajaran; masih berada di tangan individu guru masing-masing, kebanyakan guru masih mempelajari aplikasi-aplikasi TIK, belum menggunakannya untuk kebutuhan pembelajaran.
  • dari sisi pengembangan komptenesi TIK; sporadis berdasarkan minat atau motivasi masing-masing guru tertentu, inisiatif sendiri-sendiri.
  • dari sisi keterlibatan komite sekolah; bersifat aksidental, donasi tidak terarah.

Applying

Applying adalah tahap agak lebih sedikit maju dari level pertama tadi. Karakteristik utamanya adalah masih belajar tentang TIK (learning to use ICT). Karakteristik detilnya adalah sebagai berikut:

  • dari sisi visi; sudah ada masukan dari ahli TIK tentang bagaimana seharusnya TIK dimanfaatkan di sekolah.
  • dari sisi pembelajaran; TIK dijadikan sebagai obyek yang dipelajari, proses pembelajaran masih tetap lebih banyak bersifat teacher-centered alias didaktik.
  • dari sisi perencanaan dan kebijakan; sudah ada rencana, kebijakan dan pendanaan tapi masih terbatas.
  • dari sisi fasilitas; komputer beserta sodara periferal lainnya sudah mulai ditempatkan dengan baik, seperti di lab komputer atau ditempat tertentu, seperti kelas. Tapi masih sebagai tempat untuk belajar tentang komputer itu sendiri, belum dijadikan sebagai sarana pembelajaran.
  • dari sisi pemanfaatannya dalam pembelajaran; masih sebagai obyek yang dipelajari atau belajar tentang TIK, seperti belajar tentang word prosessor, spreadsheet, presentasi, dll.
  • dari sisi pengembangan kompetensi guru; sudah mulai ada semacam pelatihan aplikasi TIK walaupun masih terbatas dan tidak terencana dengan baik dan konsisten. Fokus murni pada kemampuan TIK (ICT Skills).
  • dari sisi keterlibatan komite sekolah dan komunitas; sudah mulai ada upaya penggalangan dana seperti dari alumni, sponsor maupun komite sekolah.

Infusing/Integrating

Tahap ini lebih maju dari tahap kedua. Karakteristik utamanya adalah TIK sudah terintegrasi dalam pembelajaran. atau dengan kata lain, sudah bersifat “Using ICT to Learn”. Karakteristik detilnya adalah sebagai berikut:

  • dari sisi visi; sduah ada masukan tidak hanya dari ahli TIK tapi juga dari ahli materi tentang bagaimana mengintegrasikan TIK dalam proses pembelajaran.
  • dari sisi pembelajaran; pembelajaran sudah lebih bersifata student-centered dan kolaboratif.
  • dari sisi perencanaan dan kebijakan; sudah mulai ada kebijakan dari pihak sekolah termasuk masalah pendanaan, pengembangan kompetensi TIK guru, dan rencana pembelajaran yang mengintegrasikan TIK didalamnya.
  • dari sisi fasilitas; komputer tidak hanya di lab tapi juga di kelas-kelas. Komputer terhubung dengan jaringan baik intranet (LAN) maupun internet. Dilengkapi dengan konten aneka ragam dan bentuk, begitupula halnya dengan fasilitas pendukung lain seperti multimedia, kamera digital, webcam dan lain-lain.
  • Pemanfaatan dalam pembelajaran; TIK sudah diintergarsikan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran lebih bersifat berbasis aneka sumber (resources-based learning) dengan berbagai pendekatan yang lebih bersifat konstruktifistik seperti problem-based, colaborative-based atau project-based learning.
  • Keterlibatan komunitas dan komite; komunitas mulai terlbat seperti dalam bentuk bantuan teknis, penyediaan sumber belajar, atau tergabung dalam komunitas global atau jaringan komunitas yang lebih beragam.

Transforming

Ini adalah level paling ideal. Dimana TIK telah menjadi katalis reformasi pendidikan menuju pendidikan modern di era informasi. karakteristik detilnya adalah sebagai berikut:

  • dari sisi visi; tidak lagi menekankan pada ahli TIK atau ahli materi saja, tapi lebih menekankan pada aspek kepemimpinan (leadership) baik dari sisi pengambil kebijakan (Kepsek, Wakasek, Komite sekolah) maupun dari sisi guru itu sendiri.
  • dari sisi pembelajaran/pedagogi; pembelajaran lebih bersifat experiential dimana ICT sebagai enabler. Lebih mendorong kemampuan berpikir kritis dan konstruktifistik yang benar-benar bersifat student-centered penuh.
  • dari sisi perencaan dan kebijakan; TIK telah menjadi bagian yang integral dari kebijakan dan perencanaan sekolah baik dari sisi pengadaan fasilitas, penempatan, pengembangan guru, kurikulum dan lain sebagainya.
  • dari sisi fasilitas; semua aktifitas sekolah berbasiskan TIK atau lingkungan belajar full berbasis TIK.
  • dari sisi pemanfaatan untuk pembelajaran; pembelajaran sudah bersifat virtual, real time, dimana TIK dijadikan sebagai agen/katalis pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran disampaikan baik melalui web (virtual) maupun konvensional secara terintegrasi dengan baik.
  • dari sisi pengembangan kompetensi profesional guru; lebih menekankan kepada kemampuan bagai mana mengintegrasikan TIK untuk pembelajaran, tidak lagi menekankan pada penguasaan keterampilan TIK itu sendiri. Menekankan pada peningkatan peran guru sebagai fasilitator dan manajer pembelajaran dengan berbantuan TIK yang tepat guna.
  • Keterlibatan komunitas dan komite; semua terlibat penuh dan aktif baik dengan sektor bisnis, komunitas tertentu yang relevan, universitas, dan lain-lain.

Nah, begitulah kira-kira karakteristiknya. Bagaimana dengan sekolah Anda? Coba refleksikan pada diri Anda sendiri, apakah sudah pada level 1, 2, 3 atau 4. Belum ampe empat kali, ya ….?

Sumber : Chaeruman'Blog

Rabu, 01 Juli 2009

PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA

Siapkah Menghadapi Globalisasi?

By. Jarot S. Suroso


ABSTRAKSI

Globalisasi telah membuat dunia menjadi kecil. Manusia bisa saling berinteraksi dengan tidak lagi dipisahkan dengan jarak ruang dan waktu. Walau demikian, dunia kini menghadapi ketidakseimbangan yang luar biasa dengan meningkatnya kemiskinan, kekerasan dan pengrusakan lingkungan. Maka kini ada satu kebutuhan untuk menghubungkan globalisasi dengan keadilan ekonomi, sosial, ekologis dan politik, baik pada tingkat global ataupun nasional. Dalam memasuki milenium ketiga ini Indonesia mempunyai harapan yang besar akan masa depan sistem pendidikan Indonesia. Perlu disusun Kebijakan Pendidikan Nasional yang baik yang selaras dengan era globalisasi sekarang ini. Reformasi dalam bidang pendidikan sangat penting mengingat kita tidak rela menghadapi kenyataan bahwa generasi muda kita menjadi the lost generation. Keputusan-keputusan yang tidak konseptual mengenai pendidikan nasional akan sangat fatal bagi terwujudnya cita-cita bangsa yaitu membangun masyarakat Indonesia baru yang demokratis, damai, berkeadilan dan sejahtera.

Kata Kunci: Globalisasi, Kebijakan Pendidikan Nasional


1. Pendahuluan

Isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan nasional dan globalisasi mendorong kita untuk melakukan identifikasi dan mencari titik-titik simetris sehingga bisa mempertemukan dua hal yang tampaknya paradoksial, yaitu pendidikan Indonesia yang berimplikasi nasional dan global. Dampak globalisasi memaksa banyak negara meninjau kembali wawasan dan pemahaman mereka terhadap konsep bangsa, tidak saja karena faktor batas-batas teritorial geografis, tetapi juga aspek ketahanan kultural serta pilar-pilar utama lainnya yang menopang eksistensi mereka sebagai nation state yang tidak memiliki imunitas absolut terhadap intrusi globalisasi.

Globalisasi bisa dianggap sebagai penyebaran dan intensifikasi dari hubungan ekonomi, sosial, dan kultural yang menembus sekat-sekat geografis ruang dan waktu. Dengan demikian, globalisasi hampir melingkupi semua hal yang berkaitari dengan ekonomi, politik, kemajuan teknologi, informasi, komunikasi, transportasi, dll.

Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan global, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.

Anak usia tujuh sampai lima belas tahun seharusnya mendapatkan pendidikan dasar secara gratis, karena pasal 11 ayat 2 UU Sisdiknas menyatakan "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".

Upaya memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia sebenarnya juga telah ditempuh dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang menyatakan bahwa wewenang terbesar bidang pendidikan ada di tangan pemerintah daerah, baik yang menyangkut bubget maupun kebijakan yang bersifat strategis di bidang kurikulum. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata di beberapa daerah mendapat kendala, karena kurangnya ketersediaan anggaran pendidikan, padahal berdasarkan pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU Sisdiknas, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD. Kendala lain yang dihadapi sebagian pemerintah daerah adalah karena tidak tercukupinya kebutuhan tenaga pendidik dan untuk mengangkat PNS baru membutuhkan anggaran yang cukup besar pula. Selain pemerintah, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia juga menjadi tanggung jawab dari masyarakat, untuk itu Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan surat keputusan Nomor: 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

2. Isu Kritis

Ada dua isu kritis yang perlu kita sikapi sehubungan dengan perspektif globalisasi dalam kebijakan pendidikan nasional di Indonesia yaitu: (1) Siapkah dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi?; (2) Apa tantangan dan kendala yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia saat ini dan apa alternatif solusi dalam menghadapi tantangan dan kendala tersebut?

3. Dunia di Era Globalisasi

Globalisasi telah menjadi sebuah kata yang memiliki makna tersendiri dan seringkali kita baca dan dengar. Banyak pengguna istilah globalisasi memahaminya berbeda dari makna yang sesungguhnya. Realitas semacam ini bisa diterima mengingat tidak ada definisi yang tunggal terhadap globalisasi.

R. Robertson (1992) misalnya, merumuskan globalisasi sebagai: "... the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole."

P. Kotter (1995) mendeskripsikan globalisasi sebagai, "...the product of many forces, some of which are political (no major was since 1945), some of which are technological (faster and cheaper transportation and communication), and some of which are economic (mature firms seeking growth outside their national boundaries)."

Tetapi, dalam tulisan ini kita cenderung mengutip pendapat J.A. Scholte (2002) yang menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima kategori pengertian globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur. Kelima kategori definisi tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun masing-masing mengandung unsur yang khas.

1. Globalisasi sebagai internasionalisasi

Dengan pemahaman ini, globalisasi dipandang sekedar `sebuah kata sifat (adjective) untuk menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara'. la menggambarkan pertumbuhan dalam pertukaran dan interdependensi internasional. Semakin besar volume perdagangan dan investasi modal, maka ekonomi antar-negara semakin terintegrasi menuju ekonomi global di mana `ekonomi nasional yang distingtif dilesap dan diartikulasikan kembali ke dalam suatu sistem melalui proses dan kesepakatan internasional'.

2. Globalisasi sebagai liberalisasi

Dalam pengertian ini, `globalisasi' merujuk pada `sebuah proses penghapusan hambatan-­hambatan yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antar negara untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang `terbuka' dan `tanpa-batas.' Mereka yang berpendapat pentingnya menghapus hambatan-hambatan perdagangan dan kontrol modal biasanya berlindung di balik mantel `globalisasi.'

3. Globalisasi sebagai universalisasi

Dalam konsep ini, kata `global' digunakan dengan pemahaman bahwa proses `mendunia' dan `globalisasi' merupakan proses penyebaran berbagai obyek dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru dunia. Contoh klasik dari konsep ini adalah penyebaran teknologi komputer, televisi, internet, dll.

4. Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi (lebih dalam bentuk yang Americanised)

`Globalisasi' dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dsb.) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak self-determination rakyat setempat.

5. Globalisasi sebagai penghapusan batas-batas teritorial (atau sebagai persebaran supra-teritorialitas)

`Globalisasi' mendorong `rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan dengan kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas teritorial.' Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses (atau serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial organisation dari hubungan sosial dan transaksi-ditinjau dari segi ekstensitas, intensitas, kecepatan dan dampaknya-yang memutar mobilitas antar-benua atau antar-regional serta jejaringan aktivitas.

4. The World is Flat

Thomas L. Friedman dalam bukunya The World is Flat menulis bahwa dunia telah berubah menjadi datar (flat). Friedman melihat ada 10 faktor penyebabnya yaitu:

a. 11/9/89

Ketika tembok berlin runtuh pada tanggal 9 Nopember 1989. Suatu simbol pemisah antara dunia blok barat dan blok timur telah diruntuhkan sehingga dunia kini menyatu. Juga pada saat bersamaan muncul Sistem Operasi Windows yang membawa manusia hidup bersama dan saling berinteraksi satu sama lain.

b. Netscape went public

Pada pertengahan tahun 1990 an perkembangan jaringan komputer berbasis Windows mencapai puncaknya. Pada saat ini diluncurkan suatu Web browser Netscape yang dapat membawa manusia untuk mendapatkan informasi dari seluruh dunia mengenai apapun, di manapun dia tinggal.

c. Workflow Software

Akhir abad 20 juga ditandai dengan kemajuan dalam bidang Software Workflow dimana seseorang dapat mengetahui suatu sistem dengan melihat workflow dari sistem tersebut. Era ini juga ditandai dengan dikembangkannya VPN (Virtual Private Network) sehingga masing-masing institusi bisa saling berinteraksi dengan bantuan jaringan komputer yang bersifat private sehingga keamanan data dapat terjamin.

d. Open Sourcing

Dominasi Microsoft Windows pada sistem operasi dunia serta software aplikasi pendukung lainnya akhirnya dapat ditandingi dengan munculnya Software Open Source. Masyarakat di seluruh dunia dapat mengembangkan sistem komputer serta jaringannya dalam komunitas ini. Sistem ini tidak lagi didominasi oleh institusi tertentu (Microsoft).

e. Oursourcing

Memasuki tahun 2000 (Y2K = year 2000), perusahaan dapat saja menyelesaikan tugasnya dengan sistem outsource. Artinya pekerjaan dilakukan di luar dengan melibatkan sumber daya dari luar, sehingga perusahaan tersebut tidak perlu memikirkan tugas tersebut.

f. Offshoring

Untuk pengembangan bisnis, suatu perusahaan dapat melakukan off shore. Ini dilakukan dengan memindahkan pabrik pada suatu lokasi tertentu. Negara yang menjadi tujuan banyak industri dunia adalah China, karena memiliki sumber daya manusia serta market yang berlimpah.

g. Supply Chaining.

Supply chaining menyebabkan dunia men-deliver semua kebutuhan kita mulai dari keperluan sehari-hari sampai kebutuhan dengan teknologi tinggi dengan harga yang rendah. Era ini ditandai dengan munculnya toko retail waralaba besar yang merambah ke seluruh dunia.

h. Insourcing

Insourcing kebalikan dari outsourcing. Perusahaan kecil menengah dapat saja membantu perusahaan besar mengerjakan tugas-tugasnya.

i. Informing

Manusia dapat mencari informasi mengenai apa saja, dari mana saja. Hal itu dimungkinkan setelah dikembangkan Search Engine seperti Google, Yahoo atau MSN Search Engine. Dengan bantuan web browser maka kita dapat mencari informasi tersebut pada jaringan komputer dunia.

j. The Steroids

Manusia dapat saling berinteraksi satu sama lain dengan melalui 4 cara nirkabel. Untuk jarak sampai 30 inch kita dapat menggunakan teknologi inframerah. Untuk jarak sampai 30 feet kita dapat menggunakan teknologi bluetooth. Untuk jarak sampai 150 inch kita dapat menggunakan teknologi Wi-Fi. Untuk dapat mencapai seluruh dunia kita dapat menggunakan bantuan cell-phone yang disambungkan dengan perangkat komputer kita. Dunia menjadi semakin semarak dengan dikembangkannya sistem digital, mobile, personal dan virtual.

5. Perspektif Globalisasi dan Kebijakan Pendidikan Indonesia

Dalam summit APEC di Bogor tahun 1994, Indonesia dengan berani menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010 dengan menyatakan: "Siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi karena sudah berada di dalamnya". Banyak pengamat menilai bahwa pada waktu itu Indonesia menyatakan `siap' dalam globalisasi kurang didasarkan pada asumsi yang realistis.

Dalam menilai kesiapan dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi ada baiknya kita mengukur posisi Indonesia dengan indikator-indikator-terlepas dari metodologi yang dipakai oleh pembuat survei yang dianggap cukup relevan, yaitu: tingkat kompetisi Indonesia di dunia global (global competitiveness), indeks persepsi korupsi (corruption perception index), dan indeks pengembangan SDM (human development index).

Menurut indikator pertama, dalam tingkat kompetisi global tahun 2002, Indonesia berada pada posisi ke-72 dari 115 negara yang disurvei. Indonesia berada di bawah India yang menempati posisi ke-56, Vietnam pada posisi ke-60, dan Filipina pada posisi ke-66. Meskipun konfigurasi yang dibuat oleh Global Economic Forum ini lebih merupakan kuantifikasi dari aspek ekonomi dan bersifat relatif, tetapi secara umum prestasi tersebut juga merefleksikan kualitas dunia pendidikan kita.

Dari sudut persepsi publik terhadap korupsi tahun 2002, hasil survei yang dilakukan oleh Transparency International dan Universitas Gottingen menempatkan Indonesia pada urutan ke- 122. Indonesia berada di bawah India yang menempati posisi ke-83, Filipina pada posisi ke­92, dan Vietnam pada posisi ke-100. Mengingat sikap dan watak merupakan hasil pembinaan pendidikan, dunia pendidikan kita bisa dianggap `liable' terhadap perilaku korup. Implikasi indikator ini terhadap dunia pendidikan kita secara umum ialah proses pendidikan kita belum mampu-secara signifikan-menghasilkan lulusan yang bersih, jujur dan amanah.

Era pasar bebas memungkinkan masuknya lembaga pendidikan dan tenaga pendidik yang mempunyai kemampuan internasional ke Indonesia, untuk itu, kemampuan bersaing lembaga pendidikan dan tenaga pendidik harus ditingkatkan. Dalam upaya meningkatkan kualitas para tenaga pendidik, perlu juga sekaligus memberikan perlindungan profesi pada mereka dalam bentuk program lisensi, bagi semua pendidik dan mereka yang ingin meniti karier sebagai pendidik. Program lisensi tersebut diperlukan untuk memberikan jaminan mutu pendidikan yang akan diberikan agar sesuai dengan standar nasional, misalnya dengan kriteria minimal harus menguasai segala aspek standar kompetensi guru. Dan bagi warga negara asing yang akan menjadi tenaga pendidik di wilayah republik Indonesia, selain harus menguasai standar kompetensi guru juga diwajibkan menguasai bahasa Indonesia.

Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional kita cenderung mengambil pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen? Artinya, dalam suatu produksi, yang harus diperhatikan tidak saja aspek input, tetapi juga prosesnya. Kita masih kurang memperhatikan dimensi `proses' ini sehingga mutu output­nya menjadi rendah.

Penyelenggaraan pendidikan menggunakan pendekatan yang sentralistik sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.

Salah satu kasus yang mengindikasikan lemahnya manajemen pendidikan kita adalah dikeluarkannya aturan oleh Depdiknas tentang standar kelulusan siswa SMP dan SMA dalam UAN dengan passing grade 4,01. Setelah muncul protes di banyak tempat `memaksa' Depdiknas mengeluarkan aturan baru yang terlihat tergesa-gesa yang tidak diantisipasi sebelumnya. Padahal, niat Depdiknas tersebut sudah bagus yakni untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan standar kelulusan. Angka drempel 4,01 itu sebenarnya masih di bawah standar kelulusan internasional yaitu 5,5 (6,0). Hanya saja, kebijakan menaikkan standar kelulusan tersebut tidak diawali atau diiringi dengan peningkatan kualitas manajemen, guru, dan infrastruktur pendidikan secara signifikan. Persepsi umum bahwa kebijakan pendidikan masih terkesan "trial and error" adalah seringnya perubahan yang tidak tuntas baik dalam tataran orientasi, kurikulum maupun sistem pembelajaran. Dalam beberapa kasus, faktor `grant' tampaknya bisa mengubah kebijakan pendidikan nasional kita menjadi proyek-proyek yang fragmentatif atau tidak komprehensif.

Pengenalan pendekatan pembelajaran 'Contextual Teaching and Learning (CTL)' misalnya masih terlihat sporadis dan-karena berbagai kendala khususnya anggaran-hanya sebagian kecil sekolah di Indonesia yang baru mampu melaksanakannya. Kita juga akan melihat apakah kasusnya sama dengan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mulai diterapkan tahun 2004 yang sekarang diperbarui dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Aspek adaptabilitas dan kesinambungan dalam kebijakan pendidikan masih perlu dipikirkan dengan lebih serius. Meskipun tanggung jawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap di tangan pemerintah c.q. Mendiknas, tetapi sejalan dengan desentralisasi dan otonomi, sekolah sebagai pelaksana pendidikan sudah diberikan tanggung jawab dan kemandirian dalam penyelenggaraan pendidikan. Pemberlakuan UU Sisdiknas 2003 dan aturan-aturan lain yang merupakan penjabaran dari butir-butir legalitas yang statusnya lebih tinggi adalah salah satu contoh kebijakan yang ditimbulkan oleh kecenderungan ini.

Di beberapa daerah di Indonesia masih kekurangan guru, dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1. berikut menjelaskan tentang kekurangan guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan SMU maupun SMK untuk tahun 2004 dan 2005. Total kita masih membutuhkan sekitar 218.000 guru tambahan, dan ini menjadi tugas utama dari lembaga pendidikan keguruan.



Tabel 1. Kekurangan guru untuk Tahun 2004 dan 2005

(Sumber Data: Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004)

Dalam menghadapi era globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal (tabel 2).

Tabel 2. Tantangan Pendidikan Non Formal

(Sumber Data; Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004)

Selanjutnya setelah seluruh tenaga pendidik terpenuhi, maka kita dihadapkan pada masalah peningkatan kualitas mutu pendidikan. Gambar 1. menjelaskan tentang faktor faktor yang menentukan mutu pendidikan dimana di lingkaran paling dalam adalah siswa sebagai the learner. Selanjutnya yang ikut berpengaruh dalam proses peningkatan mutu pendidikan adalah proses learning, teaching, enabling environment serta education sector policy. Jelas di sini menunjukkan bahwa policy pemerintah sangat menentukan kualitas mutu pendidikan di Indonesia.


Gambar 1. Faktor yang menentukan mutu pendidikan

6. Pengembangan SDM Indonesia Menghadapi Globalisasi

Dalam kompetisi menghadapi globalisasi Sumber Daya Manusia memegang peranan yang sangat penting. Bila tidak siap maka manusia Indonesia akan tergilas oleh globalisasi. Akan tetapi bila siap, maka kita akan menjadi sang pemenang. Secara sederhana kita dapat mendefisikan sikap pemenang (winner) yaitu:

  • Adalah mereka yang berada didepan perubahan, terus-menerus meredifinisi bidang kegiatannya, menciptakan pasar baru, membuat trobosan baru, menemukan kembali cara-cara berkompetisi, menantang status quo.
  • Pimpinan yg mau mendesentralisasi kekuasaannya dan mendemokratisasikan strateginya dengan melibatkan berbagai orang baik yg ada di dalam maupun di luar organisasinya dalam proses menemukan kiat utk menghadapi masa depan

Untuk tingkat perusahaan telah terjadinya pergeseran paradigma antara model konvensional dengan model yang terjadi di era globalisasi (abad 21) yang secara umum dapat dijelaskan pada tabel 2. berikut:

No

Current Model

Item

21st Century

1

Hierarchy

ORGANIZATION

Network

2

Self-sufficient

STRUCTURE

Interdependent

3

Security

WORKER EXPECTN

Personal growth

4

Homogeneous

WORKFORCE

Culturally diverse

5

By individuals

WORK

By teams

6

Domestic

MARKETS

Global

7

Cost

ADVANTAGE

Time

8

Profits

FOCUS

Customers

9

Capital

RESOURCES

Information

10

Board of directors

GOVERNANCE

Varied constituents

11

What’s affordable

QUALITY

No compromises

12

Autocratic

LEADERSHIP

Inspirational

Tabel 2. Perubahan Paradigma Abad 21

Untuk menghadapi globalisasi kita dapat menerapkan kiat 3C yaitu:

· Competence,

· Concept and

· Connection

Dengan mengembangkan 3C diatas maka diharapkan akan terjadi peningkatan sumber daya manusia Indonesia menghadapi globalisasi.

7. Kesimpulan

Dari tulisan di atas, kita bisa menyimpulkan, pertama, bahwa dalam berbagai takaran dan ukuran dunia pendidikan kita belum siap menghadapi globalisasi. Belum siap tidak berarti bangsa kita akan hanyut begitu saja dalam arus global tersebut. Kita harus menyadari bahwa Indonesia masih dalam masa transisi dan memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan peran dalam globalisasi khususnya pada konteks regional. Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh.

Kedua, dunia pendidikan kita menghadapi banyak kendala dan tantangan. Namun dari uraian di atas, kita optimis bahwa masih ada peluang.

Ketiga, alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam pendidikan anak dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari pendidikan formal anak di sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak akan membuat kita lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan `kesalahan' dunia pendidikan nasional kepada otoritas dan sektor-sektor lain dalam masyarakat, karena mendidik itu ternyata tidak mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar kuantitas individu dan keluarga yang menyadari urgensi peranan keluarga ini, kemudian mereka membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi, maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran kompetitif di tengah-tengah bangsa kita sehingga mampu bersaing di atas gelombang globalisasi ini.

Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.


DAFTAR REFERENSI

  1. Thomas L. Friedman, 1989, From Beirut to Jerusalem, Penerbit Farrar, Straus and Giroux
  2. Thomas L. Friedman, 1999, The Lexus and the Olive Tree, Penerbit Farrar, Straus and Giroux
  3. Thomas L. Friedman, 2002, Longitudes and Attitudes, Penerbit Farrar, Straus and Giroux
  4. Thomas L. Friedman, 2005, The World Is Flat, Penerbit Farrar, Straus and Giroux
  5. H.A.R. Tilaar, 2004, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Penerbit Rineka Cipta
  6. H.A.R. Tilaar, 2004, Multikulturalisma, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Penerbit Grasindo
  7. R. Robertson (1992). Globalization: Social Theory and Global Culture. London: Sage Publications, hal. 8.
  8. Kotter, P. (1955). The New Rules How to Succeed in Today's Post-Corporate World. New York: The Free Press, p. 42.
  9. Scholte, J. A. (2000). Globalization: A critical Introduction. London: Palgrave, hal. 15-17.Gunaryadi (2004),
  10. Dunia pendidikan Indonesia di tengah arus globalisasi
  11. Agustiar Syah Nur, 2002, Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara,Penerbit Lubuk Agung BandungFasli Jalal,
  12. Reformasi Pendidikan, Dalam Konteks Otonomi Daerah, Penerbit Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa
  13. Philip H. Coombs, 1985, The World Crisis in Education, The View From The Eighties, Oxford University Press