Information and Communication Technologi Clinic

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), begitulah terjemahan dari INFORMATION and COMUNICATION TECHNOLOGI (ICT). Teknologi Informasi dan Komunikasi, adalah deretan tiga suku kata yang saat ini lagi akrab dibibir orang, khususnya di lingkungan pendidikan atau kelompok birokrasi, bahkan belakangan ini, juga termasuk golongan-golongan masyarakat tertentu.

Memahami Teknologi informasi dan komunikasi, tidak hanya menyandarkan pada pengertian tiga suku kata di atas. Tetapi lebih dari itu harus dipahami lebih dalam, mengapa tiga suku kata itu harus dipadu menyadi satu kalimat yang tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran TIK. Itu mengartikan, bahwa tiga kata dasar itu, masing-masing memiliki nilai kekuatan dan pengaruh tersendiri dalam peradaban kehidupan manusia.

Sebagai bukti yang logis dari kekuatan-kekuatan itu, yakni disadari atau tidak, bahwa aktivitas yang sedang berlangsung dilakukan manusia saat ini, pada hakikatnya adalah mengelola informasi yang diterima sebelumnya. Disadari atau tidak pula, bahwa keberadaan informasi itu sendiri lahir karena adanya komunikasi. Demikian pula terhadap komunikasi, itu dapat terjadi karena tidak lepas dari media (teknologi) sebagai alat pengantar maksud dan tujuan.

Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, maka ICT atau TIK yang menjadi medan garapan ilmu pengetahuan dari ICT CLINIC di SDN 1 Tilote adalah; Teknologi Informasi dan Komunikasi, BUKAN “Informasi Komunikasi dan Teknologi“. Hal ini cukup beralasan, karena informasi komunikasi dan teknologi, pengertiannya adalah informasi tentang komunikasi dan informasi tentang teknologi. Dengan demikian informasi komunikasi dan teknologi, hanyalah terbatas pada pengetahuan saja, dan bukan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sifat dari informasi komunikasi dan teknologi, mudah ditemui atau diperoleh, hanya dengan cukup nonton televisi, dengar radio, maupun baca koran saja.

Sedangkan Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah identik dengan ilmu pengetahuan. Yaitu teknologi tentang informasi dan teknologi tentang komunikasi. Karena itu pula, teknologi informasi dan komunikasi tidak terbatas pada pengetahuan saja, tetapi justru berada pada level garapan sebuah studi “ilmu pengetahuan”. Dengan sendirinya, untuk menguasai teknologi informasi dan komunikasi, tidak semudah kita nonton televisi, dengar radio, ataupun baca koran. Melainkan diperoleh hanya melalui teori dan praktek pendidikan tertentu saja.

Pada unsur kata Teknologi, Informasi, Komunikasi inilah, mengapa ICT Clinic harus dihadirkan ditengah-tengah para anak didik sekolah yang ada di SDN 1 Tilote. Dengan TIK ini, para anak didik akan diarahkan pada pengenalan, penguasaan, dan pembentukan peradaban teknologi yang berbudaya.

Pengenalan, penguasaan, dan pembentukan peradaban teknologi pada tingkat anak didik ini, dimaksudkan karena alasan dinamika dunia pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menuju pada suatu jenjang peradaban dunia pendidikan dan kehidupan yang lebih baik, ICT Clinic khususnya di SDN 1 Tilote telah memiliki “TAKTIK”. Artinya; Tidak Ada Kehidupan yang baik (peradaban), tanpa menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Muhajirin AHM

Rabu, 01 Juli 2009

PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA

Siapkah Menghadapi Globalisasi?

By. Jarot S. Suroso


ABSTRAKSI

Globalisasi telah membuat dunia menjadi kecil. Manusia bisa saling berinteraksi dengan tidak lagi dipisahkan dengan jarak ruang dan waktu. Walau demikian, dunia kini menghadapi ketidakseimbangan yang luar biasa dengan meningkatnya kemiskinan, kekerasan dan pengrusakan lingkungan. Maka kini ada satu kebutuhan untuk menghubungkan globalisasi dengan keadilan ekonomi, sosial, ekologis dan politik, baik pada tingkat global ataupun nasional. Dalam memasuki milenium ketiga ini Indonesia mempunyai harapan yang besar akan masa depan sistem pendidikan Indonesia. Perlu disusun Kebijakan Pendidikan Nasional yang baik yang selaras dengan era globalisasi sekarang ini. Reformasi dalam bidang pendidikan sangat penting mengingat kita tidak rela menghadapi kenyataan bahwa generasi muda kita menjadi the lost generation. Keputusan-keputusan yang tidak konseptual mengenai pendidikan nasional akan sangat fatal bagi terwujudnya cita-cita bangsa yaitu membangun masyarakat Indonesia baru yang demokratis, damai, berkeadilan dan sejahtera.

Kata Kunci: Globalisasi, Kebijakan Pendidikan Nasional


1. Pendahuluan

Isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan nasional dan globalisasi mendorong kita untuk melakukan identifikasi dan mencari titik-titik simetris sehingga bisa mempertemukan dua hal yang tampaknya paradoksial, yaitu pendidikan Indonesia yang berimplikasi nasional dan global. Dampak globalisasi memaksa banyak negara meninjau kembali wawasan dan pemahaman mereka terhadap konsep bangsa, tidak saja karena faktor batas-batas teritorial geografis, tetapi juga aspek ketahanan kultural serta pilar-pilar utama lainnya yang menopang eksistensi mereka sebagai nation state yang tidak memiliki imunitas absolut terhadap intrusi globalisasi.

Globalisasi bisa dianggap sebagai penyebaran dan intensifikasi dari hubungan ekonomi, sosial, dan kultural yang menembus sekat-sekat geografis ruang dan waktu. Dengan demikian, globalisasi hampir melingkupi semua hal yang berkaitari dengan ekonomi, politik, kemajuan teknologi, informasi, komunikasi, transportasi, dll.

Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan global, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.

Anak usia tujuh sampai lima belas tahun seharusnya mendapatkan pendidikan dasar secara gratis, karena pasal 11 ayat 2 UU Sisdiknas menyatakan "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".

Upaya memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia sebenarnya juga telah ditempuh dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang menyatakan bahwa wewenang terbesar bidang pendidikan ada di tangan pemerintah daerah, baik yang menyangkut bubget maupun kebijakan yang bersifat strategis di bidang kurikulum. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata di beberapa daerah mendapat kendala, karena kurangnya ketersediaan anggaran pendidikan, padahal berdasarkan pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU Sisdiknas, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD. Kendala lain yang dihadapi sebagian pemerintah daerah adalah karena tidak tercukupinya kebutuhan tenaga pendidik dan untuk mengangkat PNS baru membutuhkan anggaran yang cukup besar pula. Selain pemerintah, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia juga menjadi tanggung jawab dari masyarakat, untuk itu Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan surat keputusan Nomor: 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

2. Isu Kritis

Ada dua isu kritis yang perlu kita sikapi sehubungan dengan perspektif globalisasi dalam kebijakan pendidikan nasional di Indonesia yaitu: (1) Siapkah dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi?; (2) Apa tantangan dan kendala yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia saat ini dan apa alternatif solusi dalam menghadapi tantangan dan kendala tersebut?

3. Dunia di Era Globalisasi

Globalisasi telah menjadi sebuah kata yang memiliki makna tersendiri dan seringkali kita baca dan dengar. Banyak pengguna istilah globalisasi memahaminya berbeda dari makna yang sesungguhnya. Realitas semacam ini bisa diterima mengingat tidak ada definisi yang tunggal terhadap globalisasi.

R. Robertson (1992) misalnya, merumuskan globalisasi sebagai: "... the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole."

P. Kotter (1995) mendeskripsikan globalisasi sebagai, "...the product of many forces, some of which are political (no major was since 1945), some of which are technological (faster and cheaper transportation and communication), and some of which are economic (mature firms seeking growth outside their national boundaries)."

Tetapi, dalam tulisan ini kita cenderung mengutip pendapat J.A. Scholte (2002) yang menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima kategori pengertian globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur. Kelima kategori definisi tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun masing-masing mengandung unsur yang khas.

1. Globalisasi sebagai internasionalisasi

Dengan pemahaman ini, globalisasi dipandang sekedar `sebuah kata sifat (adjective) untuk menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara'. la menggambarkan pertumbuhan dalam pertukaran dan interdependensi internasional. Semakin besar volume perdagangan dan investasi modal, maka ekonomi antar-negara semakin terintegrasi menuju ekonomi global di mana `ekonomi nasional yang distingtif dilesap dan diartikulasikan kembali ke dalam suatu sistem melalui proses dan kesepakatan internasional'.

2. Globalisasi sebagai liberalisasi

Dalam pengertian ini, `globalisasi' merujuk pada `sebuah proses penghapusan hambatan-­hambatan yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antar negara untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang `terbuka' dan `tanpa-batas.' Mereka yang berpendapat pentingnya menghapus hambatan-hambatan perdagangan dan kontrol modal biasanya berlindung di balik mantel `globalisasi.'

3. Globalisasi sebagai universalisasi

Dalam konsep ini, kata `global' digunakan dengan pemahaman bahwa proses `mendunia' dan `globalisasi' merupakan proses penyebaran berbagai obyek dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru dunia. Contoh klasik dari konsep ini adalah penyebaran teknologi komputer, televisi, internet, dll.

4. Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi (lebih dalam bentuk yang Americanised)

`Globalisasi' dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dsb.) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak self-determination rakyat setempat.

5. Globalisasi sebagai penghapusan batas-batas teritorial (atau sebagai persebaran supra-teritorialitas)

`Globalisasi' mendorong `rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan dengan kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas teritorial.' Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses (atau serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial organisation dari hubungan sosial dan transaksi-ditinjau dari segi ekstensitas, intensitas, kecepatan dan dampaknya-yang memutar mobilitas antar-benua atau antar-regional serta jejaringan aktivitas.

4. The World is Flat

Thomas L. Friedman dalam bukunya The World is Flat menulis bahwa dunia telah berubah menjadi datar (flat). Friedman melihat ada 10 faktor penyebabnya yaitu:

a. 11/9/89

Ketika tembok berlin runtuh pada tanggal 9 Nopember 1989. Suatu simbol pemisah antara dunia blok barat dan blok timur telah diruntuhkan sehingga dunia kini menyatu. Juga pada saat bersamaan muncul Sistem Operasi Windows yang membawa manusia hidup bersama dan saling berinteraksi satu sama lain.

b. Netscape went public

Pada pertengahan tahun 1990 an perkembangan jaringan komputer berbasis Windows mencapai puncaknya. Pada saat ini diluncurkan suatu Web browser Netscape yang dapat membawa manusia untuk mendapatkan informasi dari seluruh dunia mengenai apapun, di manapun dia tinggal.

c. Workflow Software

Akhir abad 20 juga ditandai dengan kemajuan dalam bidang Software Workflow dimana seseorang dapat mengetahui suatu sistem dengan melihat workflow dari sistem tersebut. Era ini juga ditandai dengan dikembangkannya VPN (Virtual Private Network) sehingga masing-masing institusi bisa saling berinteraksi dengan bantuan jaringan komputer yang bersifat private sehingga keamanan data dapat terjamin.

d. Open Sourcing

Dominasi Microsoft Windows pada sistem operasi dunia serta software aplikasi pendukung lainnya akhirnya dapat ditandingi dengan munculnya Software Open Source. Masyarakat di seluruh dunia dapat mengembangkan sistem komputer serta jaringannya dalam komunitas ini. Sistem ini tidak lagi didominasi oleh institusi tertentu (Microsoft).

e. Oursourcing

Memasuki tahun 2000 (Y2K = year 2000), perusahaan dapat saja menyelesaikan tugasnya dengan sistem outsource. Artinya pekerjaan dilakukan di luar dengan melibatkan sumber daya dari luar, sehingga perusahaan tersebut tidak perlu memikirkan tugas tersebut.

f. Offshoring

Untuk pengembangan bisnis, suatu perusahaan dapat melakukan off shore. Ini dilakukan dengan memindahkan pabrik pada suatu lokasi tertentu. Negara yang menjadi tujuan banyak industri dunia adalah China, karena memiliki sumber daya manusia serta market yang berlimpah.

g. Supply Chaining.

Supply chaining menyebabkan dunia men-deliver semua kebutuhan kita mulai dari keperluan sehari-hari sampai kebutuhan dengan teknologi tinggi dengan harga yang rendah. Era ini ditandai dengan munculnya toko retail waralaba besar yang merambah ke seluruh dunia.

h. Insourcing

Insourcing kebalikan dari outsourcing. Perusahaan kecil menengah dapat saja membantu perusahaan besar mengerjakan tugas-tugasnya.

i. Informing

Manusia dapat mencari informasi mengenai apa saja, dari mana saja. Hal itu dimungkinkan setelah dikembangkan Search Engine seperti Google, Yahoo atau MSN Search Engine. Dengan bantuan web browser maka kita dapat mencari informasi tersebut pada jaringan komputer dunia.

j. The Steroids

Manusia dapat saling berinteraksi satu sama lain dengan melalui 4 cara nirkabel. Untuk jarak sampai 30 inch kita dapat menggunakan teknologi inframerah. Untuk jarak sampai 30 feet kita dapat menggunakan teknologi bluetooth. Untuk jarak sampai 150 inch kita dapat menggunakan teknologi Wi-Fi. Untuk dapat mencapai seluruh dunia kita dapat menggunakan bantuan cell-phone yang disambungkan dengan perangkat komputer kita. Dunia menjadi semakin semarak dengan dikembangkannya sistem digital, mobile, personal dan virtual.

5. Perspektif Globalisasi dan Kebijakan Pendidikan Indonesia

Dalam summit APEC di Bogor tahun 1994, Indonesia dengan berani menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010 dengan menyatakan: "Siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi karena sudah berada di dalamnya". Banyak pengamat menilai bahwa pada waktu itu Indonesia menyatakan `siap' dalam globalisasi kurang didasarkan pada asumsi yang realistis.

Dalam menilai kesiapan dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi ada baiknya kita mengukur posisi Indonesia dengan indikator-indikator-terlepas dari metodologi yang dipakai oleh pembuat survei yang dianggap cukup relevan, yaitu: tingkat kompetisi Indonesia di dunia global (global competitiveness), indeks persepsi korupsi (corruption perception index), dan indeks pengembangan SDM (human development index).

Menurut indikator pertama, dalam tingkat kompetisi global tahun 2002, Indonesia berada pada posisi ke-72 dari 115 negara yang disurvei. Indonesia berada di bawah India yang menempati posisi ke-56, Vietnam pada posisi ke-60, dan Filipina pada posisi ke-66. Meskipun konfigurasi yang dibuat oleh Global Economic Forum ini lebih merupakan kuantifikasi dari aspek ekonomi dan bersifat relatif, tetapi secara umum prestasi tersebut juga merefleksikan kualitas dunia pendidikan kita.

Dari sudut persepsi publik terhadap korupsi tahun 2002, hasil survei yang dilakukan oleh Transparency International dan Universitas Gottingen menempatkan Indonesia pada urutan ke- 122. Indonesia berada di bawah India yang menempati posisi ke-83, Filipina pada posisi ke­92, dan Vietnam pada posisi ke-100. Mengingat sikap dan watak merupakan hasil pembinaan pendidikan, dunia pendidikan kita bisa dianggap `liable' terhadap perilaku korup. Implikasi indikator ini terhadap dunia pendidikan kita secara umum ialah proses pendidikan kita belum mampu-secara signifikan-menghasilkan lulusan yang bersih, jujur dan amanah.

Era pasar bebas memungkinkan masuknya lembaga pendidikan dan tenaga pendidik yang mempunyai kemampuan internasional ke Indonesia, untuk itu, kemampuan bersaing lembaga pendidikan dan tenaga pendidik harus ditingkatkan. Dalam upaya meningkatkan kualitas para tenaga pendidik, perlu juga sekaligus memberikan perlindungan profesi pada mereka dalam bentuk program lisensi, bagi semua pendidik dan mereka yang ingin meniti karier sebagai pendidik. Program lisensi tersebut diperlukan untuk memberikan jaminan mutu pendidikan yang akan diberikan agar sesuai dengan standar nasional, misalnya dengan kriteria minimal harus menguasai segala aspek standar kompetensi guru. Dan bagi warga negara asing yang akan menjadi tenaga pendidik di wilayah republik Indonesia, selain harus menguasai standar kompetensi guru juga diwajibkan menguasai bahasa Indonesia.

Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional kita cenderung mengambil pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen? Artinya, dalam suatu produksi, yang harus diperhatikan tidak saja aspek input, tetapi juga prosesnya. Kita masih kurang memperhatikan dimensi `proses' ini sehingga mutu output­nya menjadi rendah.

Penyelenggaraan pendidikan menggunakan pendekatan yang sentralistik sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.

Salah satu kasus yang mengindikasikan lemahnya manajemen pendidikan kita adalah dikeluarkannya aturan oleh Depdiknas tentang standar kelulusan siswa SMP dan SMA dalam UAN dengan passing grade 4,01. Setelah muncul protes di banyak tempat `memaksa' Depdiknas mengeluarkan aturan baru yang terlihat tergesa-gesa yang tidak diantisipasi sebelumnya. Padahal, niat Depdiknas tersebut sudah bagus yakni untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan standar kelulusan. Angka drempel 4,01 itu sebenarnya masih di bawah standar kelulusan internasional yaitu 5,5 (6,0). Hanya saja, kebijakan menaikkan standar kelulusan tersebut tidak diawali atau diiringi dengan peningkatan kualitas manajemen, guru, dan infrastruktur pendidikan secara signifikan. Persepsi umum bahwa kebijakan pendidikan masih terkesan "trial and error" adalah seringnya perubahan yang tidak tuntas baik dalam tataran orientasi, kurikulum maupun sistem pembelajaran. Dalam beberapa kasus, faktor `grant' tampaknya bisa mengubah kebijakan pendidikan nasional kita menjadi proyek-proyek yang fragmentatif atau tidak komprehensif.

Pengenalan pendekatan pembelajaran 'Contextual Teaching and Learning (CTL)' misalnya masih terlihat sporadis dan-karena berbagai kendala khususnya anggaran-hanya sebagian kecil sekolah di Indonesia yang baru mampu melaksanakannya. Kita juga akan melihat apakah kasusnya sama dengan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mulai diterapkan tahun 2004 yang sekarang diperbarui dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Aspek adaptabilitas dan kesinambungan dalam kebijakan pendidikan masih perlu dipikirkan dengan lebih serius. Meskipun tanggung jawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap di tangan pemerintah c.q. Mendiknas, tetapi sejalan dengan desentralisasi dan otonomi, sekolah sebagai pelaksana pendidikan sudah diberikan tanggung jawab dan kemandirian dalam penyelenggaraan pendidikan. Pemberlakuan UU Sisdiknas 2003 dan aturan-aturan lain yang merupakan penjabaran dari butir-butir legalitas yang statusnya lebih tinggi adalah salah satu contoh kebijakan yang ditimbulkan oleh kecenderungan ini.

Di beberapa daerah di Indonesia masih kekurangan guru, dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1. berikut menjelaskan tentang kekurangan guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan SMU maupun SMK untuk tahun 2004 dan 2005. Total kita masih membutuhkan sekitar 218.000 guru tambahan, dan ini menjadi tugas utama dari lembaga pendidikan keguruan.



Tabel 1. Kekurangan guru untuk Tahun 2004 dan 2005

(Sumber Data: Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004)

Dalam menghadapi era globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal (tabel 2).

Tabel 2. Tantangan Pendidikan Non Formal

(Sumber Data; Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004)

Selanjutnya setelah seluruh tenaga pendidik terpenuhi, maka kita dihadapkan pada masalah peningkatan kualitas mutu pendidikan. Gambar 1. menjelaskan tentang faktor faktor yang menentukan mutu pendidikan dimana di lingkaran paling dalam adalah siswa sebagai the learner. Selanjutnya yang ikut berpengaruh dalam proses peningkatan mutu pendidikan adalah proses learning, teaching, enabling environment serta education sector policy. Jelas di sini menunjukkan bahwa policy pemerintah sangat menentukan kualitas mutu pendidikan di Indonesia.


Gambar 1. Faktor yang menentukan mutu pendidikan

6. Pengembangan SDM Indonesia Menghadapi Globalisasi

Dalam kompetisi menghadapi globalisasi Sumber Daya Manusia memegang peranan yang sangat penting. Bila tidak siap maka manusia Indonesia akan tergilas oleh globalisasi. Akan tetapi bila siap, maka kita akan menjadi sang pemenang. Secara sederhana kita dapat mendefisikan sikap pemenang (winner) yaitu:

  • Adalah mereka yang berada didepan perubahan, terus-menerus meredifinisi bidang kegiatannya, menciptakan pasar baru, membuat trobosan baru, menemukan kembali cara-cara berkompetisi, menantang status quo.
  • Pimpinan yg mau mendesentralisasi kekuasaannya dan mendemokratisasikan strateginya dengan melibatkan berbagai orang baik yg ada di dalam maupun di luar organisasinya dalam proses menemukan kiat utk menghadapi masa depan

Untuk tingkat perusahaan telah terjadinya pergeseran paradigma antara model konvensional dengan model yang terjadi di era globalisasi (abad 21) yang secara umum dapat dijelaskan pada tabel 2. berikut:

No

Current Model

Item

21st Century

1

Hierarchy

ORGANIZATION

Network

2

Self-sufficient

STRUCTURE

Interdependent

3

Security

WORKER EXPECTN

Personal growth

4

Homogeneous

WORKFORCE

Culturally diverse

5

By individuals

WORK

By teams

6

Domestic

MARKETS

Global

7

Cost

ADVANTAGE

Time

8

Profits

FOCUS

Customers

9

Capital

RESOURCES

Information

10

Board of directors

GOVERNANCE

Varied constituents

11

What’s affordable

QUALITY

No compromises

12

Autocratic

LEADERSHIP

Inspirational

Tabel 2. Perubahan Paradigma Abad 21

Untuk menghadapi globalisasi kita dapat menerapkan kiat 3C yaitu:

· Competence,

· Concept and

· Connection

Dengan mengembangkan 3C diatas maka diharapkan akan terjadi peningkatan sumber daya manusia Indonesia menghadapi globalisasi.

7. Kesimpulan

Dari tulisan di atas, kita bisa menyimpulkan, pertama, bahwa dalam berbagai takaran dan ukuran dunia pendidikan kita belum siap menghadapi globalisasi. Belum siap tidak berarti bangsa kita akan hanyut begitu saja dalam arus global tersebut. Kita harus menyadari bahwa Indonesia masih dalam masa transisi dan memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan peran dalam globalisasi khususnya pada konteks regional. Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh.

Kedua, dunia pendidikan kita menghadapi banyak kendala dan tantangan. Namun dari uraian di atas, kita optimis bahwa masih ada peluang.

Ketiga, alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam pendidikan anak dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari pendidikan formal anak di sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak akan membuat kita lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan `kesalahan' dunia pendidikan nasional kepada otoritas dan sektor-sektor lain dalam masyarakat, karena mendidik itu ternyata tidak mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar kuantitas individu dan keluarga yang menyadari urgensi peranan keluarga ini, kemudian mereka membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi, maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran kompetitif di tengah-tengah bangsa kita sehingga mampu bersaing di atas gelombang globalisasi ini.

Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.


DAFTAR REFERENSI

  1. Thomas L. Friedman, 1989, From Beirut to Jerusalem, Penerbit Farrar, Straus and Giroux
  2. Thomas L. Friedman, 1999, The Lexus and the Olive Tree, Penerbit Farrar, Straus and Giroux
  3. Thomas L. Friedman, 2002, Longitudes and Attitudes, Penerbit Farrar, Straus and Giroux
  4. Thomas L. Friedman, 2005, The World Is Flat, Penerbit Farrar, Straus and Giroux
  5. H.A.R. Tilaar, 2004, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Penerbit Rineka Cipta
  6. H.A.R. Tilaar, 2004, Multikulturalisma, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Penerbit Grasindo
  7. R. Robertson (1992). Globalization: Social Theory and Global Culture. London: Sage Publications, hal. 8.
  8. Kotter, P. (1955). The New Rules How to Succeed in Today's Post-Corporate World. New York: The Free Press, p. 42.
  9. Scholte, J. A. (2000). Globalization: A critical Introduction. London: Palgrave, hal. 15-17.Gunaryadi (2004),
  10. Dunia pendidikan Indonesia di tengah arus globalisasi
  11. Agustiar Syah Nur, 2002, Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara,Penerbit Lubuk Agung BandungFasli Jalal,
  12. Reformasi Pendidikan, Dalam Konteks Otonomi Daerah, Penerbit Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa
  13. Philip H. Coombs, 1985, The World Crisis in Education, The View From The Eighties, Oxford University Press

0 komentar: