Information and Communication Technologi Clinic

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), begitulah terjemahan dari INFORMATION and COMUNICATION TECHNOLOGI (ICT). Teknologi Informasi dan Komunikasi, adalah deretan tiga suku kata yang saat ini lagi akrab dibibir orang, khususnya di lingkungan pendidikan atau kelompok birokrasi, bahkan belakangan ini, juga termasuk golongan-golongan masyarakat tertentu.

Memahami Teknologi informasi dan komunikasi, tidak hanya menyandarkan pada pengertian tiga suku kata di atas. Tetapi lebih dari itu harus dipahami lebih dalam, mengapa tiga suku kata itu harus dipadu menyadi satu kalimat yang tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran TIK. Itu mengartikan, bahwa tiga kata dasar itu, masing-masing memiliki nilai kekuatan dan pengaruh tersendiri dalam peradaban kehidupan manusia.

Sebagai bukti yang logis dari kekuatan-kekuatan itu, yakni disadari atau tidak, bahwa aktivitas yang sedang berlangsung dilakukan manusia saat ini, pada hakikatnya adalah mengelola informasi yang diterima sebelumnya. Disadari atau tidak pula, bahwa keberadaan informasi itu sendiri lahir karena adanya komunikasi. Demikian pula terhadap komunikasi, itu dapat terjadi karena tidak lepas dari media (teknologi) sebagai alat pengantar maksud dan tujuan.

Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, maka ICT atau TIK yang menjadi medan garapan ilmu pengetahuan dari ICT CLINIC di SDN 1 Tilote adalah; Teknologi Informasi dan Komunikasi, BUKAN “Informasi Komunikasi dan Teknologi“. Hal ini cukup beralasan, karena informasi komunikasi dan teknologi, pengertiannya adalah informasi tentang komunikasi dan informasi tentang teknologi. Dengan demikian informasi komunikasi dan teknologi, hanyalah terbatas pada pengetahuan saja, dan bukan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sifat dari informasi komunikasi dan teknologi, mudah ditemui atau diperoleh, hanya dengan cukup nonton televisi, dengar radio, maupun baca koran saja.

Sedangkan Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah identik dengan ilmu pengetahuan. Yaitu teknologi tentang informasi dan teknologi tentang komunikasi. Karena itu pula, teknologi informasi dan komunikasi tidak terbatas pada pengetahuan saja, tetapi justru berada pada level garapan sebuah studi “ilmu pengetahuan”. Dengan sendirinya, untuk menguasai teknologi informasi dan komunikasi, tidak semudah kita nonton televisi, dengar radio, ataupun baca koran. Melainkan diperoleh hanya melalui teori dan praktek pendidikan tertentu saja.

Pada unsur kata Teknologi, Informasi, Komunikasi inilah, mengapa ICT Clinic harus dihadirkan ditengah-tengah para anak didik sekolah yang ada di SDN 1 Tilote. Dengan TIK ini, para anak didik akan diarahkan pada pengenalan, penguasaan, dan pembentukan peradaban teknologi yang berbudaya.

Pengenalan, penguasaan, dan pembentukan peradaban teknologi pada tingkat anak didik ini, dimaksudkan karena alasan dinamika dunia pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menuju pada suatu jenjang peradaban dunia pendidikan dan kehidupan yang lebih baik, ICT Clinic khususnya di SDN 1 Tilote telah memiliki “TAKTIK”. Artinya; Tidak Ada Kehidupan yang baik (peradaban), tanpa menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Muhajirin AHM

Sabtu, 26 September 2009

Adakah Korelasi Tingkat Pendidikan dengan Keberhasilan Karir?

Sebagai seorang education motivator dan pendiri milis beasiswa (jumlah member hanya 40 ribu orang lebih), saya selalu tertarik untuk membicarakan tentang pendidikan. Jadi waktu di salah satu milis ada pembicaraan tentang topik ini, saya jadi gatal rasanya untuk ikut menanggapi.

Kalau ditanyakan bagaimana proyeksi karir dengan pendidikan, jawaban saya: sekitar 20% saja. Lho kok sedikit sekali. Ya, karena pada kenyataannya, tingkat karir sering kali tidak berkorelasi linier dengan tingkat pendidikan. Seorang dengan pendidikan S2 atau S3 tidak selalu akan mendapatkan karir yang baik. Anda mungkin tahu orang-orang dengan tingkat pendidikan tinggi yang ternyata karirnya biasa-biasa saja. Saya tahu seseorang yang lulus dengan gelar Master dari salah satu universitas terkenal di dunia ternyata tidak pernah mendapatkan promosi. Bahkan, perusahaan melihat kinerjanya rendah dan sedang memikirkan cara yang terbaik untuk me-utilisasinya.

Tapi anehnya, ada saja orang-orang yang tingkat pendidikannya tidak “standar”, ternyata bisa mencapai karir yang dahsyat. Saya pernah membaca tentang seorang wanita yang tingkat pendidikannya hanya D3 dari sebuah akademi sekretaris yang akhirnya menjadi Direktur Regional untuk Quality Management di salah satu produsen komputer terbesar di dunia. Tanggung jawabnya di posisi itu meliputi daerah Asia Pasifik! Ibu tersebut sekarang berkiprah di salah satu training provider. D3 dari akademi sekretaris! (Saya yang MBA dari New York aja malu). Fantastik! selengkapnya....

Sabtu, 19 September 2009

1 Syawal 1430 H

Sebelum Fajar 1 Syawal 1430 H bangkit dari ufuk timur
Andai tak bersua untuk berjabat erat jemari
Sudilah kiranya menerima ucapan ini
Sebagai ganti diri yang tak sempat hadir...


Sabtu, 29 Agustus 2009

Merancang kesempatan belajar fleksibel melalui non-linear proses kolaboratif

Author: Dr Sandra Jones
Employment Relations, School of Management, RMIT University, Australia.

Abstrak


Tantangan yang dihadapi akademisi yang berusaha untuk merancang pengalaman inovatif on-line kesempatan belajar bagi siswa yang menggunakan teknologi komunikasi interaktif (ICT) adalah signifikan. Tidak hanya merupakan sebuah pendekatan baru untuk belajar dan mengajar yang diperlukan, tetapi juga keterampilan teknis baru diperlukan. Makalah ini berusaha untuk mengeksplorasi desain, pengembangan dan pendekatan produksi yang akan menghasilkan penciptaan kesempatan belajar yang inovatif melalui ICT. Dua contoh proses baru di mana pengarang telah terlibat disajikan, dan berdasarkan pengalaman-pengalaman ini, penulis menyimpulkan bahwa non-linear kolaboratif pendekatan desain yang paling efektif, terutama dalam membantu para peserta untuk mengatasi ambiguitas yang diperlukan untuk memungkinkan inovasi untuk muncul.

Pendahuluan

Akademisi menghadapi banyak tantangan ketika mereka berusaha untuk memberikan siswa dengan inovatif, pengalaman kesempatan belajar. Tantangan-tantangan ini dikalikan ketika on-line lingkungan belajar dianggap. Saya telah menyatakan di tempat lain bahwa pendekatan yang lebih kolaboratif daripada pendekatan tradisional akademis individu untuk desain dan penyampaian pengajaran yang dibutuhkan (Jones 2001). Namun, apa yang masih harus dieksplorasi adalah bagaimana kolaborasi seperti itu akan mewujudkan dirinya. Makalah ini berusaha untuk mengeksplorasi desain, pengembangan dan pendekatan produksi yang akan menghasilkan penciptaan kesempatan belajar yang inovatif melalui ICT.

Siswa terpusat belajar dan mengajar dan teknologi

Di bawah guru tradisional yang berpusat pedagogi pendidikan, akademik-sebagai-guru [1] adalah sepenuhnya bertanggung jawab terhadap desain dan pengiriman pustakawan kursus dengan bantuan yang diberikan untuk membantu siswa dengan penelitian yang terkait. Guru kursus umumnya dirancang berdasarkan pengetahuan yang didapat dari penelitian, dengan pengiriman mereka bergantung pada pidato mereka didukung oleh representasi visual.

Bawah ini pedagogi mengajar, ICT digunakan terutama untuk memberikan siswa dengan catatan tertulis bahwa guru kalau tidak akan menyampaikan secara lisan. Model broadcast ini (Jones & Creese 2001) menyajikan tantangan desain, sebagai bahan tertulis harus disajikan dengan cara yang berbeda dari kata yang diucapkan. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan profesi Instructional Design (ID) yang biasanya melibatkan preskriptif tahap analisis dan pengembangan desain dan implementasi dan evaluasi dalam urutan linear (Dick & Carey, 1996). Dalam skenario ini, para guru menyediakan konten ke ID yang mempersiapkan itu dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan tangan ke unit produksi.

Sebuah pendekatan yang berpusat pada siswa untuk belajar memerlukan pendekatan yang berbeda di mana menjadi panduan guru, pelatih, motivator, fasilitator dan koordinator sumber belajar. Ini memerlukan akademis sebagai guru untuk menciptakan sebuah "konteks belajar yang mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam materi" (Ramsden 1992:114). Dalam lingkungan ini siswa menjadi aktif 'pelaku', menyajikan, menganalisis, mempertanyakan, menilai, dan menggabungkan ide-ide dan informasi terhadap suatu argumen dalam rangka memecahkan masalah dan membangun cara untuk mengembangkan pengetahuan (Ballard & Clanchy 1997). Ini memerlukan akademis sebagai guru untuk merancang pengalaman pendidikan sebagai dua arah yang interaktif dan proses reflektif. Model ini mengakui peran guru adalah siswa hadir dengan pengetahuan konseptual (isinya pengetahuan dan kemampuan generik), dibangun dari perspektif guru, dan kemudian bercermin pada siswa kinerja. Mahasiswa, di sisi lain, didorong untuk memberikan kontribusi konseptual mereka sendiri dan pengetahuan dan pengalaman untuk merenungkan dan menyesuaikan tindakan mereka sesuai. Link antara kedua terjadi melalui diskusi dan interaksi antara guru dan murid.

Kegiatan belajar dan mengajar bagi siswa yang berpusat pada proses belajar yang lebih rumit membutuhkan proses merancang yang memungkinkan siswa untuk menyumbangkan pengetahuan mereka terhadap lingkungan belajar. Hal ini mengakibatkan lebih banyak perhatian yang diberikan kepada pengalaman merancang latihan pembelajaran seperti studi kasus, role-play, dan kejadian-kejadian dunia nyata disajikan melalui film dan video (Jones 1999; 2000). Hal ini menyebabkan kegiatan kelompok dan penilaian proyek-proyek yang mendorong rekan pertimbangan pengetahuan (Biggs 1999), untuk tindakan-based learning dan proyek-proyek penelitian (Cherry 1995), dan akhirnya, untuk penggunaan pembelajaran terpadu kerja, di mana siswa yang baik ditempatkan pada 'pengalaman kerja' program atau diminta untuk merefleksikan teori dalam hal pengalaman kerja mereka.

ICT memberikan kesempatan untuk menambah pengalaman face-to-face (F2F) lingkungan belajar on-line dengan kesempatan belajar (Jones & Richardson 2002). Laurillard (1994) mengidentifikasi tiga alat utama untuk penggunaan teknologi; telekonferensi melalui komputer yang menyediakan peluang untuk meningkatkan interaksi dua arah dan negosiasi antara guru dan siswa, simulasi berbasis komputer yang menyediakan lingkungan yang menstimulasi di mana siswa dapat beradaptasi, mencerminkan dan menemukan saat mereka berinteraksi dengan dunia nyata, dan akhirnya, penggunaan teknologi terpadu multi-link untuk mahasiswa untuk audio dan visual database yang disediakan oleh guru.

Namun, merancang dan mengembangkan interaktif, pengalaman kesempatan belajar menyajikan tantangan signifikan. Guru harus mengerti bagaimana teknologi dapat digunakan (Reid, 2000), dan keterampilan baru apa yang mereka butuhkan. Collings (1999:5) berpendapat bahwa sementara akademisi memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar atau 'kerja nyata', mereka tidak memiliki yang dibutuhkan untuk 'artikulasi' atau "kerja yang terlibat dalam negosiasi pengembangan dan penggunaan infrastruktur teknologi informasi dan merancang dan mengatur cara-cara baru mengajar ". Laurillard (1994:21) menyatakan bahwa guru perlu memiliki keahlian untuk memfasilitasi "pengetahuan mempersiapkan, mengawasi dan de-briefing belajar dengan bantuan multimedia, dan menyediakan akses interaktif siswa dengan teks yang besar dan audio-based learning". Guru memerlukan bantuan dari berbagai keahlian - instruksional dan desainer grafis, audio, visual dan ahli komputer, penelitian, sumber daya dan ahli hukum TI (Toohey 1999).

Jadi tidak peduli apa pendidikan pedagogi, agar dapat menggunakan ICT sebagai sarana belajar, ada kebutuhan bagi para akademisi dan para ahli teknis untuk bekerja sama sebagai sebuah tim dalam perancangan, pengembangan, dan produksi on-line kegiatan belajar (Kandlbinger, 1999:2). Hal ini dibahas lebih lanjut dalam bagian berikutnya.

Sebuah proses desain kolaboratif

Dalam membahas pengalaman proses desain dan tentu saja mengembangkan materi untuk pendidikan jarak jauh di Open University di Inggris Raya Gerrard (2001:579) menguraikan proses tim sehingga:

semua keputusan pada struktur kursus dan modul konten perguruan tinggi. Akademisi ini dibantu oleh produser media, teknologi pendidikan, desainer, editor dan administrator, tetapi sebenarnya perkembangan akademik sepenuhnya di tangan para akademisi.

Meskipun diakui perlunya proses tim kolaboratif, diakui bahwa realitas mengembangkan budaya kolaboratif tidak mudah. Hal ini terutama sangat di universitas mengajar sebagai akademisi, direndam dalam budaya kebebasan dan otonomi, merasa sulit untuk bekerja dengan para ahli teknis yang lebih mungkin untuk terikat oleh keprihatinan tentang efektif dan efisien proses teknis, biaya dan implikasi dari pendidikan sumber daya pedagogies (Jones & Creese 2001). Seperti Kandlbinger (1999:2) menyatakan "masing-masing bidang ini memiliki konsepsi yang berbeda dari apa yang komputer untuk, membawa Common sedikit tanah untuk perencanaan atau pengambilan keputusan".

Tingkat kesulitan ini akan bervariasi, namun dalam semua kasus, otonomi akademis dikurangi oleh kebutuhan untuk rencana rinci, beberapa perlawanan dapat diharapkan. Mungkin ada sedikit perlawanan dalam pendekatan berpusat pada guru di mana ID hanya menerjemahkan kata yang diucapkan dalam konteks tertulis. Dalam kasus ini terstruktur, dikelola linier pendekatan proyek mungkin sesuai. Namun, sebuah pendekatan yang berpusat pada siswa membutuhkan lebih banyak desain dan perencanaan dan kurang cocok untuk proyek linear pendekatan dikelola sebagai latihan dan kegiatan yang paralel di dunia nyata kegiatan yang dirancang. Proses terakhir ini membutuhkan ide-ide mendorong muncul dalam cara organik atas kehidupan desain dan siklus produksi. Hal ini membutuhkan kolaborasi lebih dekat antara guru dan berbagai ahli teknis dalam rangka mendorong pertukaran ide dan konsep yang keluar dari ide-ide inovatif muncul. Akhirnya, itu memerlukan beberapa pemahaman tentang tujuan dari guru dan keterbatasan kemampuan dan alat-alat ICT. Dalam rangka untuk menjelajahi sebuah proses yang dapat memenuhi persyaratan ini baru-baru ini dua contoh desain, pengembangan, dan proses produksi di mana penulis terlibat disajikan untuk diskusi.

Contoh 1-Merancang sebuah pengalaman belajar interaktif

Dalam School of Management di RMIT penulis bertanggung jawab akademis pasca-sarjana yang tentu saja dalam negosiasi, mediasi, dan advokasi keterampilan. Kursus ini telah dirancang sesuai dengan pendidikan yang berpusat pada siswa pedagogi dengan negosiasi pengalaman latihan yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan peserta melalui refleksi, dan analisa, proses dan hasil dari negosiasi peserta. Pada 1999, bekerja sama dengan Fakultas Pendidikan Media Bisnis Unit (Emu), aku dirancang, dikembangkan dan diproduksi paket pelatihan video dari perselisihan industri dengan maksud untuk memberikan yang lebih nyata pengalaman hidup sengketa (Jones 1999; 2000) . Melalui pengalaman ini aku mengenali dua hal utama. Pertama, untuk menggunakan teknologi secara efektif sebagai alat pendidikan perlu adanya akademisi untuk bekerja sama dengan teknis, pengajaran, dan desain grafis, ahli. Kedua, generasi muda peserta didik memiliki harapan jauh lebih tinggi dari berinteraksi dengan teknologi yang lebih tua daripada banyak akademisi. Ini jelas dinyatakan oleh seorang mahasiswa yang, setelah melihat video, menyatakan "tapi kita tidak bisa klik". Pengalaman ini terbukti bernilai ketika aku datang ke desain yang lebih interaktif ICT kesempatan belajar bagi siswa seperti yang dijelaskan di bawah ini.

Tahap Satu - Desain, pengembangan dan produksi tahap

Negosiasi, mediasi dan advokasi Kursus ini diperkuat dengan sebuah perusahaan yang dirancang sebagai Terletak Learning Environment (SLE) (Brown, Collins & Duguid 1989) di mana siswa yang 'hampir' digunakan dalam serangkaian outlet restoran. Dalam lingkungan ini siswa diwajibkan untuk menegosiasikan sejumlah pekerjaan yang berkaitan. Pada tahun 2001 saya memutuskan untuk bereksperimen dengan on-line komponen restoran sebagai Terletak Virtual Learning Environment (VSLE) menggunakan Distributed universitas Learning System (DLS) untuk menyajikan yang lebih 'nyata' pengalaman.

Langkah pertama saya adalah untuk mendekati Manajer Emu. Dia menyarankan agar kami membangun sebuah website perusahaan sebagai repositori untuk semua informasi tentang perusahaan dan masalah yang diperlukan siswa untuk bernegosiasi. Format website atipikal adalah menjadi perusahaan yang ada website. Hal yang terpenting adalah 'tampilan dan nuansa' (atau grafik dan navigasi) adalah sama dengan, atau lebih baik daripada, bahwa dari situs perusahaan nyata.

Mengingat sifat inovatif proyek ini, rancangan dan proses pengembangan yang didirikan cukup cairan, tanpa batas waktu dan pengertian yang samar-samar apa proyek yang telah selesai akan terlihat seperti. Setelah melihat website perusahaan lain dan mempertimbangkan persyaratan latihan negosiasi, saya menulis ulang materi dan diberikan ke Manajer Emu. Dia kemudian mengatur untuk ini harus diterjemahkan ke dalam situs web authoring oleh seorang pakar yang melakukan semua produksi Web, menerjemahkan bahan tertulis dari peta situs ke dalam teks Hyper Markup Language (HTML), dan dikembangkan navigasi berbasis web. Pada saat yang sama, desainer grafis menggabungkan lingkungan aku telah dirancang ke dalam situs perusahaan. Gambar 1 merangkum langkah pertama dari proses kolaboratif. selengkapnya.....

Selasa, 25 Agustus 2009

Ijazah Palsu, Perguruan Tinggi Perketat Pengamanan

KOMPAS.com — Merebaknya kasus ijazah palsu menyebabkan sejumlah perguruan tinggi memperketat pengamanan, bahkan melakukan pengamanan berganda. Pengamanan ini dalam bentuk fisik ijazah atau prosedur penerbitannya.

Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, Kasiyarno mengatakan bahwa saat ini UAD menggunakan sembilan level pengaman dalam ijazahnya. Penggunaan pengaman berlapis ini diterapkan setelah pihak perguruan tinggi menemukan selembar ijazah palsu atas nama UAD sekitar setahun lalu. ”Ijazah diketahui palsu saat akan dilegalisir oleh pemiliknya,” ujarnya di Yogyakarta, Senin (24/8).

Sembilan pengaman itu di antaranya terdiri atas hologram yang membentuk logo UAD dan missing font yang tercetak di latar belakang. Missing font adalah kode huruf di latar belakang ijazah yang secara acak akan tidak muncul atau terbalik saat dicetak. Selain itu, UAD juga menggunakan antipenggandaan (anti-copy) sehingga ijazah hasil fotokopi akan secara otomatis memunculkan tulisan ”copy” pada latar belakang.

Kasiyarno mengatakan, meskipun biayanya mahal, metode tersebut tetap akan diterapkan dan kemungkinan akan ditambah pada masa depan. Hal ini karena pengamanan berganda dinilai cukup efektif dalam mencegah praktik pemalsuan. ”Sejak kami menerapkannya, belum ada lagi temuan ijazah palsu,” katanya.

Sementara itu, Universitas Islam Indonesia (UII) menggunakan sejumlah kode rahasia dan hologram di ijazahnya. ”Ini sudah kami terapkan bertahun-tahun yang lalu,” kata Rektor UII Edy Suandi Hamid.

Selain kewaspadaan perguruan tinggi, tutur Edy, kewaspadaan masyarakat juga sangat diperlukan untuk mencegah penipuan dengan ijazah palsu. Perusahaan atau pihak pengguna lulusan perguruan tinggi diimbau untuk tidak ragu memeriksa keaslian ijazah yang diterimanya.

Pemeriksaan ini bisa dilakukan langsung kepada perguruan tinggi bersangkutan. Data lulusan perguruan tinggi di Indonesia juga bisa diakses di situs internet www.evaluasi.or.id untuk mencocokkan data.

Edy yang juga Ketua Forum Rektor Indonesia itu mengatakan, fenomena pemalsuan ijazah palsu mencerminkan pandangan sebagian besar masyarakat yang masih mengutamakan ijazah daripada kompetensi.

Nomor induk mahasiswa
Secara terpisah, pemerintah berencana menerbitkan nomor induk mahasiswa secara nasional. Nomor unik tersebut antara lain untuk menghindari terjadinya pemalsuan ijazah dan merapikan data mahasiswa.

Hal itu dikemukakan Direktur Akademik Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Illah Sailah ketika dimintai keterangannya mengenai kasus-kasus pemalsuan ijazah.

Penerbitan nomor induk mahasiswa nasional tersebut direncanakan tahun depan setelah pembenahan sistem informasi di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dengan adanya nomor induk tersebut, seorang mahasiswa hanya akan mempunyai satu nomor induk secara nasional dan ada rekam jejaknya.

Illah meminta masyarakat waspada dengan beredarnya ijazah-ijazah palsu tersebut. Untuk memeriksa kebenaran ijazah, dapat menelusuri data mahasiswa. Salah satu cara adalah dengan mengecek melalui data Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri yang dapat diakses melalui www.evaluasi.or.id. (IRE/INE)

Sumber : KOMPAS

Sabtu, 22 Agustus 2009

Marhaban Yaa Ramadhan

Pimpinan dan Staf ICT CLINIC Gorontalo
mengucapkan...
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa di Bulan Ramadhan 1430 H
Minal Aidin Wal Faidzin Mohon Maaf Lahir Bathin


Rabu, 19 Agustus 2009

PELUANG DAN TANTANGAN LULUSAN BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DI INDONESIA

Oleh : Tutang, MCSE, MM
Microsoft MVP Desktop Experience
Pranata Komputer Utama – IV/d, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI

Abstrak
Dengan teknologi informasi yang secara nyata dapat meningkatkan kinerja dan memungkinkan berbagai kegiatan dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat dan akurat, sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Untuk mengisi berbagai bidang usaha dan bisnis baik di Indonesia aupun di luar negeri yang berkaitan dengan teknologi informasi sangat diperlukan SDM (Sumberdaya Manusia) yang benar-benar handal, dan professional. Tanpa kemampuan dan skill yang baik mumpuni kita tidak akan mamu bersaing dengan tenaga TI yang berasal dari negara lain yang masuk ke bursa tenaga TI di Indonesia.

Pendahuluan
Prospek lulusan bidang TI (Teknologi Informasi) baik MI (Manajemen Informasi), SI (Sistem Informasi), maupun Komputer Akuntansi dalam beberapa tahun ke depan masih tetap menjadi primadona. Bidang Teknologi Informasi atau bisnis lain yang didukung penerapan Teknologi Informasi untuk saat ini dan dimasa yang akan datang tetap mendapat perhatian khusus dari pemerintah, karena bersifatnya strategis bagi perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Dua aspek penting dalam pengembangan bisnis yang berhubungan dengan Teknologi Informasi adalah infrastruktur dan Sumberdaya Manusia (SDM). Selain kedua aspek tersebut, sebenarnya masih banyak aspek lain seperti pendidikan, finansial dan sebagainya. Namun, lemahnya infrastruktur dan langkanya Sumberdaya Manusia professional dalam bidang ini merupakan penyebab lambatnya perkembangan dan bisnis Teknologi Informasi di Indonesia.

Apabila lulusan TI di Indonesia tidak memenuhi persyaratan, maka darimana tenaga kerja TI Professional diperoleh? Kemudian apabila perencanaan, pembinaan dan penciptaan SDM TI Professional tidak dilaksanakan dengan baik, maka krisis SDM pelan namun pasti akan terjadi. Bahkan dengan semakin berkembang dan murahnya jaringan komputer global (Internet), maka bursa tenaga kerja semakin terbuka secara global. Selain itu, dengan adanya perdagangan bebas seperti AFTA yang sudah berlaku sejak tahun 2003 lalu akan semakin mengancam lahan pekerjaan balam bidang TI di Indonesia apabila SDM lulusan TI Indonesia tidak persiapkan dengan baik. Sebut saja misalnya India, Korena, China, Singapura, dan lain-lain merupakan raksasa yang sanggup menembus pasar tenaga kerja IT Indonesia ke depan.

Mempersiapkan SDM TI
Tumbuh subur dan berkembangnya ladang dalam bidang TI, di satu sisi merupakan bencana, tapi disisi lain merupakan peluang. Indonesia yang dikenal sebagai pengirim tenaga kerja (TKI) ke luar negeri sekarang memiliki potensi untuk mengirimkan skilled workers ke luar negari, dan ini merupakan peluang besar bagi para pekerja Indonesia. Meskipun demikian, peluang ini harus dicermati karena setiap negara di dunia juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk meningkatan pendapatan atau devisa bagi negaranya melalui penempatan tenaga kerja TI di luar negeri.

Sebenanya sejak tahun 1990 Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadapi kelangkaan SDM TI ini. Hal ini dibuktikan dengan tumbuh suburnya berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, mulai dari LPK, Training Center, SMKTI, Akademi, Politeknik sampai dengan Perguruan Tinggi baik Negeri maupun swasta. Jurusannya pun bernaeka ragam, mulai dari Teknik Informasi, Sistem Informasi, Managemen Informasi, Ilmu Komputer, dan sebagainya. Lulusan tenaga TI ini secara umum menghasilkan Sumberdaya Manusia yang terampil menggunakan produk Teknologi Informasi atau IT user dan Sumberdaya Manusia yang terampil menghasilkan produk Teknologi Informasi atau IT producer.

Pendidikan TI
Sampai saat ini tidak kurang dari 200 perguruan tinggi (PT) baik negeri maupun swasta di Indonesia yang memiliki program studi terkait dengan TI untuk jenjang pendidikan sarjana, magister, dan doktoral. Sekitar 300 lainnya untuk jenjang Diploma III dan Diploma IV, yang keseluruhannya menghasilkan kurang lebih 25,000 lulusan setiap tahunnya.

Kalangan pengamat industri menilai bahwa jumlah itu sangat jauh dari kebutuhan industri yang sebenarnya, yang mencapai sekitar 500,000 lulusan bidang Teknologi Informasi setiap tahunnya. Bahkan diperkirakan untuk tahun 2020 jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia sekitar 6 juta orang per tahun dengan asumsi sekitar 7% mahasiswanya mengambil disiplin TI. Dalam kategori PBB, lulusan yang dihasilkan nantinya dapat dibagi dalam dua golongan, yakni IT Workers, yang secara langsung terkait dengan keahlian TI. Sedang IT-enabled Worker, yang lebih sebagai pengguna TI sesuai dengan bidang-bidang keahliannya, misalnya ekonomi, manajemen, kedokteran, akuntansi, sastra, hukum, dan sebagainya.

Perguruan tinggi yang menghasilkan sarjana di bidang Teknologi Informasi sebenarnya sudah banyak, namun kualitas lulusannya belum bisa dikatakan memadai. Dalam suatu diskusi dengan seorang pelaku bisnis software terkemuka beberapa waktu lalu, perguruan tinggi di Indonesia umumnya menghasilkan programmer akan tetapi belum mampu menghasilkan software engineer, dan dapat dipastikan tidak lebih dari 2 perguruan tinggi saja yang mampu menghasilkan software engineer. Untuk itu, bagi sebagian besar perguruan tinggi perlu bebenah agar mampu menghasilkan lulusan dengan kualitas software engineer. Bangsa Indonesia masih lebih menjunjung gelar dibandingkan kemampuan, oleh karena itu pemikiran seperti ini harus mulai ditinggalkan, karean gelar bukanlah segalanya, tetapi kemampuan lebih bermanfaat dan utama daripada gelar tersebut.

Walaupun volume lulusan pendidikan formal seperti Diploma II, Diploma III, Sarjana (S1), dan Magister (S2) sudah cukup besar, namun kita masih membutuhkan banyak Sumberdaya Manusia yang handal dan professional. Namun lulusan IT di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan untuk bersaing dengan tenaga IT lulusan luar, maka sangat diperlukan pendidikan yang sifatnya lebih professional. Karena dalam dunia TI yang diperlukanan bukan gelar kesarjanaannya saja, melainkan kemampuan atau skill.

Peluang Bersaing di Pasar Global
Struktur industri, tipe pengguna, dan produk/jasa dalam domain pasar global tidak jauh berbeda dengan pasar domestik. Yang secara signifikan membedakannya adalah tuntutan standar pengetahuan, kompetensi, maupun keahlian Sumberdaya Manusia dan kualitas produk atau jasa yang dihasilkan.

Saat ini, sebagian besar perusahaan di Indonesia, menggunakan paket perangkat lunak aplikasi siap pakai yang dibuat oleh perusahaan besar seperti Microsoft, Mac, Sun Microsystem, Oracle, dan sebagainya maupun yang tailor-made (dilakukan oleh perusahaan konsultan asing). Namun demikian peluang untuk mengembangkannya masih terbuka lebar, karena 100 produk perangkat lunak terbaik hanya mengisi tidak lebih dari 45% total pasar dunia. Kenyataan inilah yang memacu negara seperti India, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan lain-lain menyediakan jasanya baik dalam bentuk pembuatan aplikasi siap pakai, maupun yang bersifat jasa customization.

Tantangan terbesar yang dihadapi oleh para profesional software engineering di Indonesia adalah kemampuannya membuat perangkat lunak aplikasi yang memenuhi standar kualitas international best practices. Bisnis yang menjadi primadona dalam industri perangkat lunak saat ini adalah outsourcing pembuatan modul-modul software pesanan negara ke negara-negara Asia. Mereka mengirimkan technical requirements dan technical designnya, sedang pembuatan modul programnya dilakukan di perusahaan Asia. Hal ini dilakukan tidak saja melihat karena tenaga kerja yang lebih murah, tetapi juga lebih produktif.

Hanya saja, peningkatan kompetensi SDM lokal dalam upaya memenuhi standar kualitas internasional sering diartikan sebagai dimilikinya sertifikasi bertaraf internasional. Meski hal itu, tidak terkait langsung dengan kualitas pendidikan formal yang telah dimilikinya. Pada tahun 2000 saja titak kurang dari 1,8 juta profesional di dunia yang telah memperoleh sertifikat, seperti MCP, MCSE, MCTS, MCSD, CNE, CNA, dan lain sebagainya.

Satu-satunya hambatan Indonesia dalam memacu profesionalnya untuk memenuhi kriteria tersebut adalah mahalnya biaya mendapatkan sertifikasi. Karenanya, perlu sinergi dalam memecahkan masalah tersebut. Sertifikasi internasional ini merupakan modal tambahan yang cukup signifikan di samping gelar kesarjanaan, karena sering kali proses tender internasional memprasyaratkan tersedianya profesional dengan sertifikat keahlian tertentu.

Standar Sertifikasi
Pada dasarnya penyedia tenaga TI adalah perguruan tinggi (PT) bidang informatika dan Komputer. Menurut data Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer (Aptikom) lulusan TI di Indonesia tahun 2005 tidak kurang dari 20.000 orang. Sayangnya hanya 10 % yang bisa terserap oleh industri yang membutuhkan tenaga TI. Permasalahannya memang tidak hanya dari jumlah yang dibutuhkan, tetapi yang penting adalah mutu lulusan yang sesuai dengan permintaan industri.

Kunci keberhasilan dalam memperoleh pekerjaan tentu saja tidak semudah membalikkan tangan, tapi harus direbut dengan kesungguhan dan usaha yang keras sejak mulai pembelajaran. Selain daripada itu juga ada kiat lain, yaitu dengan memperoleh sertifikasi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan internasional, seperti Microsoft, Oracle, Sisco, dan lain-lain.

Cepatnya perkembangan TI, dan semakin kompleknya teknologi tidak memungkin pendidikan formal dengan cepat bisa mengadopsi perubahan tersebut dengan cepat. Salah satu kunci keberhasilan dalam merebut kesempatan kerja bidang TI, di samping mengikuti pendidikan formal, juga sebaiknya mengikuti pelatihan nonformal yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga sertifikasi yang diakui secara internasional. Sebagai contoh untuk mendapatkan sertifikasi Microsoft, maka calon tenaga TI harus mengikuti pendidikan dan mengambil exam secara online di salah satu training center Microsoft yang bersertifikasi CTEC (Certifiend Technical Eduation Center), atau lembaga yang memiliki sertifikasi internaasional untuk training center.

Berikut ini contoh sertifikasi yang dikeluarkan beberapa vendor internasional yang diakui secara luas baik di Indonesia maupun di luar negeri:

A. Sertifikasi Internasional untuk bahasa pemograman Java yang dikeluarkan oleh Sun Corporation, meliputi 3 kategori sertifikasi, yaitu:
 SCP (Sun Certified Programmer)
 SCD (Sun Certified Developer)
 SCA (Sun Certified Architect)

B. Sertifikasi lain yang juga dikeluarkan oleh Sun adalah:
 SCWCD (Sun Certified Web Component Developer)
 SCBCD (Sun Certified Business Component Developer)
 SCDJWS (Sun Certified Developer for Java Web Service)
 SCMAD (Sun Certified Mobile Application Developer)

C. Sertifikasi Internasional yang dikeluarkan Microsoft menawarkan beberapa sertifikasi internasional sebagai pengakuan atas keahlian, kemampuan dan pengetahuan mereka dalam bidang tertentu, yaitu:
 MCP (Microsoft Certified Professional)
 MCTS (Microsoft Certified Technical Solution)
 MCSE (Microsoft Certified System Engineer)
 MCAD (Microsoft Certification Application Development)
 MCSD (Microsoft Certified Solution Developer)
 MCT (Microsoft Certified Trainer)

D. Sedangkan sertifikasi internasiona yang erat kaitannya dengan networking yang dikeluarkan oleh Cisco. Dalam hal ini Cisco mengeluarkan nbeberapa sertifikasi internasional, yaitu Associate Professional dan Expert, antara lain:
 CCNA (Cisco Certified Network Associate)
 CCNP (Cisco Certified Network Professional)
 CCIE (Cisco Certified Inrernetworking Expert)

Kebutuhan Tenaga TI di Indonesia
Diperkirakan pada tahun 2010 kebutuhan tenaga TI di Indonesia akan mencapai angka 327.813. Dari hasil riset IDC (International Data Center), terungkap bahwa ternyata masih banyak peluang kerja di bidang TI di Indonesia yang masih belum tergarap. Sementara nilai pasar yang tersedia mencapai US$1.7 milyar atau 164 triliun rupiah. Kalau Anda punya keberanian menyebrang ke negeri jiran, peluangnya tentu jauh lebih besar lagi. Berdasarkan data yang dikeluarkan lembaga survei terkemuka diperkirakan sampai tahun 2015 di luar negeri akan tersedia 3.3 juta lapangan kerja.

Kebutuhan tenaga TI tersebut akan semakin bertambah jika e-gouvernment dan otonomi daerah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sudah mulai dilaksanakan dengan baik. Maka dapat diperkirakan seluruh Instansi pemerintah di Indonesia setiap tahunnya paling tidak kurang membutuhkan tenaga sebanyak 5.489 tenaga TI, dalam hal ini TI, MI dan Sistem Akunansi. Sementara untuk bidang Cyber media yang untuk saat ini tidak kurang dari 1.921 media, dengan perkiraan satu media membutuhkan 21 ahli TI, maka seluruhnya akan tersedia lowongan sebanyak 40.341 orang ahli TI. Selain dari pada itu masih ada sektor lainnya yang membutuhkan tenaga TI, antara lain asuransi, multimedia, elektronika, otomotif, farmasi, ritel, bursa efek, percetakan, agrobisnis, eksplorasi dan lain sebagainya.

Penghasilan Tenaga TI di Indonesia
Gaji seorang pemula di bidang TI, berkisar Rp. 900.000,- sampai dengan Rp. 2,5 juta per bulan. Sedangkan yang sudah berpengalaman bisa meraih sedikitnya 7 sampai 10 juta rupiah per bulan. Sementara di luar negeri, gaji seorang pegawai dalam bidang TI yang msuk dalam kategori pemula berkisar antara US$400 sampai US$600 (3,6 juta sampai 5,5 juta perbulan). Sedangkan yang digolongkan dalam IT Professional memperoleh pendapatan sekitar US$2000 sampai US$ 2500 (18,2 juta sampai 22,7 juta) per bulan.

Begitu juga di Indonesia, bagi Professional atau Depelover ternyata tidak murah, misalnya seorang software developer untuk ASP dengan pengalaman 5 tahun gajinya minimal 5 juta rupiah. Untuk developer yang berbasis PHP gajinya berkisar Rp. 7 juta/bulan. Kesimpulannya, “derajat” orang TI di Indonesia cukup tinggi di mata pemberi kerja dibandingkan dengan tenaga kerja bidang lain.

Kemudian bagi IT Director atau Chief Information Officer (CIO) menduduki peringkat pertama dengan penghasilan berkisar antara Rp. 30 juta sampai 80 juta/bulan. Di Indonesia yang banyak masih di level IT Manager, menurut Salary Guide yang dikeluarkan Kelly Service, seorang IT Manager di Indonesia dengan pengalaman 5 – 7 tahun berpenghasilan bersih tidak kurang dari Rp. 11 sampai Rp. 20 juta rupiah per bulannya.

Kesimpulan
Perkembangan teknologi informasi Indonesia sangat dipengaruhi oleh kemampuan sumber daya manusia dalam memahami komponen teknologi informasi, seperti perangkat keras dan perangkat lunak komputer; sistem jaringan dan sistem telekomunikasi yang akan digunakan untuk mentransfer data. Kebutuhan akan tenaga yang berbasis teknologi informasi masih terus meningkat; hal ini bisa terlihat dengan banyaknya jenis pekerjaan yang memerlukan kemampuan di bidang teknologi informasi di berbagai bidang; juga jumlah SDM professional dengan berkemampuan baik dalam bidang teknologi informasi masih sedikit, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia.

Kemudianyang cukup menarik dari perkembangan TI, peghargaan kepada mereka yang berkemamuan dalam bidang ini sudah bisa dirasakan dengan penghasilan yang bisa dikatakan cukup baik bila dibandingkan dengan tenaga kerja lain. Oleh karena itu dengan berkembangnya teknologi informasi ini merpakan suatu peluang sekaligus tantangan bagi mereka yang mempunyai kemampuan dalam bidang ini. Terlepas dari itu semua, peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang professional, infrastruktur yang baik yang sesuai merupakan syarat mutlak untuk mencapai tingkat keberhasilan dan kesuksesan di masa yang akan datang. Penutup Sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini, apabila kita tidak mau ketinggalan, maka peningkatan kualitas SDM dalam bidang teknologi informasiini harus ditingkatkan. Hal ini sesuai dengan tuntutan dan perkembangan teknologi informasi itu sendiri. Selain peningkatan SDM dan infrastruktur TI yang memadai, juga diperlukan suatu kerangka teknologi informasi nasional yang akan mewujudkan masyarakat Indonesia siap menghadapi pasar global yang dapat menyediakan akses universal terhadap informasi kepada masyarakat luas secara adil dan merata, meningkatkan koordinasi dan pendayagunaan informasi secara optimal, meningkatkan efisiensi dan produktivitas, meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, meningkatkan pemanfaatan infrastruktur teknologi informasi, termasuk penerapan peraturan perundang-undangan yang mendukungnya serta mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Di era perdagangan bebas saat ini yang dikenal dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA) resmi berlaku di sejak tahun 2003 lalu. Inilah salah satu kenyataan arus globalisasi yang semakin nyata. Terintegrasinya perekonomian nasional dengan perekonomian regional dan global seperti AFTA, APEC, WTO/GATT memang tidak bisa dihindari, termasuk sumberdaya manusianya. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kenyataan ini memang harus dihadapi.

Pustaka
 Natakusumah, E.K., “Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia.”, Pusat Penelitian informatika” LIPI Bandung, 2002
 Richardus Eko Indrajit , “Evolusi Perkembangan Teknologi Informasi”, Renaissance Research Centre Prayoto, “Menyoal Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia”, Fakultas Teknik UNIKOM, 2002 Bandung
 The World Bank Group, E-government definition;
 Tim Koordinasi Telematika Indonesia. “Kerangka Teknologi Informasi Nasional”, Jakarta, Februari 2001.

sumber : http://penerbitdatakom.com

Sabtu, 15 Agustus 2009

Hadiah Prestasi Siswa Dipotong Sekolah

Laporan wartawan KOMPAS Alb. Hendriyo Widi Ismanto

BLORA, KOMPAS.com — SMA Negeri 1 Blora, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, membuat peraturan sekolah tentang pemotongan hadiah prestasi siswa. Uang hasil pemotongan itu digunakan untuk jasa guru pendamping dan pembinaan siswa lain yang berprestasi, tetapi tidak mendapatkan hadiah.

Ihwal peraturan itu mencuat ketika muncul selebaran tentang pemotongan uang hadiah pemenang Lomba Karya Tulis Ilmiah Benda Cagar Budaya di Purbalingga pada 27-29 Juli 2009 lalu. Selebaran itu menyebutkan, juara I, Septina Lia Triastuti, mendapatkan hadiah tropi, piagam, dan uang pembinaan Rp 2,125 juta.

Namun, Septina hanya menerima Rp 1,125 juta. Pasalnya, sisa uang itu, Rp 1 juta, diserahkan ke sekolah sesuai dengan peraturan sekolah. selengkapnya di http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/08/14/18455916/tega.nian...hadiah.prestasi.siswa.dipotong.sekolah.

Jumat, 07 Agustus 2009

TEKNOLOGI TELEMATIKA

Istilah teknologi telematika (Telekomunikasi, Media, dan Informatika) bermula dari istilah Teknologi Informasi (Information Technology atau IT). Istilah ini mulai populer di akhir dekade 70-an. Pada masa sebelumnya, teknologi informasi masih disebut dengan istilah teknologi komputer atau pengelolahan data elektronik atau PDE (Elektronic Data Processing atau EDP).

Istilah TELEMATIKA lebih kearah penyebutan kelompok teknologi yang disebut secara bersama-sama, namun sebenarnya yang dimaksudkan adalah teknologi informasi yang digunakan di media massa serta teknologi telekomunikasi yang umumnya digunakan dalam bidang komunikasi lainnya.

Istilah teknologi sering kali rancu dengan istilah sistem informasi itu sendiri dan kadang menjadi bahan perdebatan. Ada yang menggunakan istilah teknologi informasi untuk menjabarkan sekumpulan sistem informasi, pemakai, dan manajemen. Pendapat ini menggambarkan teknologi dalam perspektif yang luas. Namun, kalau didasarkan pada definisi sistem informasi menurut Alter di depan, teknologi informasi hanyalah bagian dari sistem informasi.

Menurut kamus Oxford (1995), informasi adalah studi atau penggunaan peralatan elektronika, terutama komputer, untuk menyimpan, menganalisis, dan mendistribusikan informasi apa saja, termasuk kata-kata, bilangan, dan gambar. Menurut Alter (1992), teknologi informasi mencakup perangkat keras dan perangkat lunak untuk melaksanakan satu atau sejumlah tugas memproses data seperti menangkap, menstranmisikan, menyimpan, mengambil, memanipulasi, atau menampilkan data. Martin (1999) mendefinisikan teknologi informasi tidak hanya terbatas pada teknologi komputer (perangkat keras dan perangkat lunak) yang digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi, melainkan juga mencakup teknologi komunikasi untuk mengirim informasi. Secara lebih umum Lucas (2000) menyatakan bahwa teknologi informasi adalah segala bentuk teknologi yang diterapkan untuk memproses dan mengirim informasi dalam bentuk elektronis. Mikrokomputer, komputer mainframe, pembaca barcode, perangkat lunak memproses transaksi, perangkat lunak lembar kerja (spreadsheet), dan peralatan komunikasi dan jaringan merupakan contoh teknologi informasi (Kadir, 2003:28).

Secara garis besar, teknologi informasi dapat di kelompokkan menjadi dua bagian; perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Perangkat keras menyangkut pada peralatan-peralatan yang bersifat fisik, seperti memori, printer, dan keyboard. Adapun perangkat lunak terkait dengan instruksi-instruksi untuk mengatur perangkat keras agar bekerja sesuai dengan tujuan instruksi-instruksi tersebut.


sumber : Sosiologi Informasi (Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat) oleh : Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, S.Sos, M.Si

Perkembangan Telematika di Indonesia

Perubahan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Kemampuan berpikir dan berinteraksi antar sesama dalam proses yang panjang, menghasilkan peradaban. Beberapa ilmuan telah membuat pembabakan atau periodisasi peradaban manusia, salahsatunya adalah Alvin Toffler.

Menurut Toffler, peradaban manusia terdiri dari tiga zaman. Pertama adalah zaman pertanian, zaman industri, dan yang ketiga adalah zaman informasi[1]. Zaman pertanian mencakup aktivitas manusia sejak mulai berburu dan meramu, sampai dengan bertani menetap. Berubahnya aktivitas food gathering menjadi food producing.

Revolusi industri yang dilanjutkan dengan dibangunnya pabrik-pabrik berskala menengah dan besar, adalah wilayah kajian zaman industri. Zaman ini mulai ditandai dengan adanya perubahan, yaitu tenaga manusia digantikan oleh mesin. Berbagai sektor kehidupan baru secara massal bermunculan, seperti bisnis, transportasi, dan pendidikan. Tahun 2000, zaman informasi telah mengguncang dunia, bahkan lebih dahsyat dari yang pernah dibayangkan[2].

Zaman informasi ini, menegaskan bahwa jarak geografis tidak lagi menjadi faktor penghambat dalam hubungan antara manusia atau antar lembaga usaha. Berbagai informasi dapat diakses dengan mudah sekaligus cepat. Setiap perkembangan dapat diikuti dimanapun berada. Istilah "jarak sudah mati" atau "distance is dead" makin lama makin nyata kebenarannya. Zaman informasi menyebabkan jagad ini menjadi suatu "dusun semesta" atau "global village"[3].

Zaman informasi yang sudah berkembang sedemikian rupa seperti sekarng ini, hanya mungkin dengan adanya dukungan teknologi. Teknologi inilah yang menyampaikan beragam dan banyak informasi. Teknologi telematika (selama beberapa dasawarsa ini) telah berkembang sehingga mampu menyampaikan (mentransfer) sejumlah besar informasi[4].

Sementara itu, di Indonesia, perkembangan telematika masih tertinggal apabila dibandingkan dengan negara lain. Cina misalnya, kini sudah dapat mendahului republik ini dalam hal aplikasi komputer dan internet, begitupula Singapura, Malaysia, dan India yang jauh meninggalkan Indonesia. Tampaknya masalah political will pemerintah yang belum serius, serta belum beresnya aturan fundamental adalah penyebab kekurangan tersebut. Contoh nyatanya ialah penutupan situs porno dan situs yang menyajikan film fitnah menyusul dengan disetujuinya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik pada medio 2007 dan awal tahun 2008, oleh Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo)[5].

Keadaan ini merupakan realitas objektif yang terjadi di Indonesia sekarang, tidak termasuk wilayah yang belum tersentuh teknologi telematika, semisal Indonesia Timur yang masih terbatas pasokan listrik. Amat mungkin, beberapa bagian dari wilayah tersebut belum mengenal telematika.

Seperti apa wujud Indonesia di masa depan yang terkait dengan telematika, bergantung pada kenyataan sekarang. Selanjutnya masa sekarang ini, dibangun oleh hasil dari perjalanan masa lalu. Untuk yang disebutkan terakhir inilah, makalah ini dihidangkan. Sebagai usaha membuat tulisan sejarah, yang lebih cocok dikategorikan sebagai sebuah tulisan rintisan, boleh jadi akan bersifat subyektif. Dengan demikian, undangan untuk mengembangkan gagasan baru yag lebih segar (up to date) adalah suatu keniscayaan. selengkapnya.....

Sabtu, 11 Juli 2009

Peranan Sosiologi Terhadap Dunia Pendidikan

Dalam pengertian sederhana, sosiologi pendidikan memuat analisis-analisis ilmiah tentang proses interaksi sosial yang terkait dengan aktivitas pendidikan baik dari lingkup keluarga, kehidupan sosio-kultur masyarakat maupun pada taraf konstelasi di tingkat nasional. Sehingga dari sini bisa di dapat sebuah gambaran objektif tentang relasi-relasi sosial yang menyusun konstruksi total realitas pendidikan di negara kita. Sampai pada pemahaman tersebut segala bentuk wawasan dan pengetahuan sosiologis guna membedah tubuh pendidikan kita menjadi perlu untuk dibahas agar proses-proses pengajaran tidak bias ke arah yang kurang relevan dengan kebutuhan bangsa.

Di sisi lain, jika perhatian kita tertuju pada lembaran sejarah perkembangan pendidikan masyarakat Indonesia, produk kemajuan sosial, meningkatnya taraf hidup rakyat, akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan penerapan inovasi teknologi merupakan bagian dari prestasi gemilang hasil jerih payah lembaga pendidikan kita dalam upaya memajukan kehidupan bangsa Indonesia.

Meningkatnya jumlah kaum terpelajar telah menjadi bahan bakar lajunya lokomotif kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Akan tetapi, beberapa kendala yang melingkari dunia pendidikan dalam kaitan dengan menurunnya kualitas output pendidikan kita menjadi bukti bahwa wajah persekolahan kita memerlukan banyak perbaikan. Melihat keberadaan sekolah begitu penting bagi eksistensi dan keberlangsungan pendidikan di negara kita maka topik ini akan mengarahkan lingkup kajian sosiologisnya kepada hakikat peran dan fungsi lembaga sekolah sebagai lembaga pendidikan. Tiga sub-judul berikutnya akan menindaklanjuti fokus pembahasan dengan titik tekan yang lebih spesifik. Pada sub-judul pertama, banyak digali tentang hubungan-hubungan sosial di dunia pendidikan dalam wadah organisasi formal. Di sini kriteria sekolah sebagai salah satu wujud organisasi formal ditinjau dari kaitan unsur-unsur sosial pendukungnya dalam proses mencapai tujuan pendidikan. Pada sub judul kedua lebih menyoroti konteks transaksi pendidikan di ruang kelas. Hal ini ditekankan, sebab ruang kelas merupakan representasi dari proses-proses pendidikan yang sesungguhnya, karena di dalamnya telah melibatkan komponen-komponen belajar mengajar secara langsung. Sedangkan pada sub judul yang ketiga, tinjauannya bertolak dari kenyataan bahwa sekolah tidak bisa lepas dari hubungan wadah eksternalnya.

Kondisi sosio-kultur masyarakat tidak bisa tidak merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap proses-proses pendidikan di sekolah. Tiga batasan tinjauan di atas akan dipaparkan sebagai upaya untuk menyajikan beberapa manfaat analisis sosiologis terhadap dunia pendidikan. Selengkapnya....

Analisa UU ITE

UU ITE datang membuat situs porno bergoyang dan sebagian bahkan menghilang? Banyak situs porno alias situs lendir ketakutan dengan denda 1 miliar rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. Padahal sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Apakah UU ITE sudah lengkap dan jelas? Ternyata ada beberapa masalah yang terlewat dan juga ada yang belum tersebut secara lugas didalamnya. Ini adalah materi yang saya angkat di Seminar dan Sosialisasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diadakan oleh BEM Fasilkom Universitas Indonesia tanggal 24 April 2008. Saya berbicara dari sisi praktisi dan akademisi, sedangkan di sisi lain ada pak Edmon Makarim yang berbicara dari sudut pandang hukum. Tertarik? Klik lanjutan tulisan ini. Oh ya, jangan lupa materi lengkap plus UU ITE dalam bentuk PDF bisa didownload di akhir tulisan ini.

CYBERCRIME DAN CYBERLAW

UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia Internet (siber), termasuk didalamnya memberi punishment terhadap pelaku cybercrime. Nah kalau memang benar cyberlaw, perlu kita diskusikan apakah kupasan cybercrime sudah semua terlingkupi? Di berbagai literatur, cybercrime dideteksi dari dua sudut pandang:

Kejahatan yang Menggunakan Teknologi Informasi Sebagai Fasilitas: Pembajakan, Pornografi, Pemalsuan/Pencurian Kartu Kredit, Penipuan Lewat Email (Fraud), Email Spam, Perjudian Online, Pencurian Account Internet, Terorisme, Isu Sara, Situs Yang Menyesatkan, dsb.

Kejahatan yang Menjadikan Sistem Teknologi Informasi Sebagai Sasaran: Pencurian Data Pribadi, Pembuatan/Penyebaran Virus Komputer, Pembobolan/Pembajakan Situs, Cyberwar, Denial of Service (DOS), Kejahatan Berhubungan Dengan Nama Domain, dsb.

Cybercrime menjadi isu yang menarik dan kadang menyulitkan karena:
  • Kegiatan dunia cyber tidak dibatasi oleh teritorial negara,
  • Kegiatan dunia cyber relatif tidak berwujud,
  • Sulitnya pembuktian karena data elektronik relatif mudah untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirimkan ke seluruh belahan dunia dalam hitungan detik,
  • Pelanggaran hak cipta dimungkinkan secara teknologi,
  • Sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan hukum konvensional. Analogi masalahnya adalah mirip dengan kekagetan hukum konvensional dan aparat ketika awal mula terjadi pencurian listrik. Barang bukti yang dicuripun tidak memungkinkan dibawah ke ruang sidang. Demikian dengan apabila ada kejahatan dunia maya, pencurian bandwidth, dsb
Contoh gampangnya rumitnya cybercrime dan cyberlaw:
  • Seorang warga negara Indonesia yang berada di Australia melakukan cracking sebuah server web yang berada di Amerika, yang ternyata pemilik server adalah orang China dan tinggal di China. Hukum mana yang dipakai untuk mengadili si pelaku?
  • Seorang mahasiswa Indonesia di Jepang, mengembangkan aplikasi tukar menukar file dan data elektronik secara online. Seseorang tanpa identitas meletakkan software bajakan dan video porno di server dimana aplikasi di install. Siapa yang bersalah? Dan siapa yang harus diadili?
  • Seorang mahasiswa Indonesia di Jepang, meng-crack account dan password seluruh professor di sebuah fakultas. Menyimpannya dalam sebuah direktori publik, mengganti kepemilikan direktori dan file menjadi milik orang lain. Darimana polisi harus bergerak?
INDONESIA DAN CYBERCRIME
Paling tidak masalah cybercrime di Indonesia yang sempat saya catat adalah sebagai berikut:
  • Indonesia meskipun dengan penetrasi Internet yang rendah (8%), memiliki prestasi menakjubkan dalam cyberfraud terutama pencurian kartu kredit (carding). Menduduki urutan 2 setelah Ukraina (ClearCommerce)
  • Indonesia menduduki peringkat 4 masalah pembajakan software setelah China, Vietnam, dan Ukraina (International Data Corp)
  • Beberapa cracker Indonesia tertangkap di luar negeri, singapore, jepang, amerika, dsb
  • Beberapa kelompok cracker Indonesia ter-record cukup aktif di situs zone-h.org dalam kegiatan pembobolan (deface) situs
  • Kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus (APJII)
  • Sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun (AKKI)
  • Layanan e-commerce di luar negeri banyak yang memblok IP dan credit card Indonesia. Meskipun alhamdulillah, sejak era tahun 2007 akhir, mulai banyak layanan termasuk payment gateway semacam PayPal yang sudah mengizinkan pendaftaran dari Indonesia dan dengan credit card Indonesia
Indonesia menjadi tampak tertinggal dan sedikit terkucilkan di dunia internasional, karena negara lain misalnya Malaysia, Singapore dan Amerika sudah sejak 10 tahun yang lalu mengembangkan dan menyempurnakan Cyberlaw yang mereka miliki. Malaysia punya Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) 1997, Communication and Multimedia Act (Akta Komunikasi dan Multimedia) 1998, dan Digital Signature Act (Akta Tandatangan Digital) 1997. Singapore juga sudah punya The Electronic Act (Akta Elektronik) 1998, Electronic Communication Privacy Act (Akta Privasi Komunikasi Elektronik) 1996. Amerika intens untuk memerangi child pornography dengan: US Child Online Protection Act (COPA), US Child Pornography Protection Act, US Child Internet Protection Act (CIPA), US New Laws and Rulemaking.

Jadi kesimpulannya, cyberlaw adalah kebutuhan kita bersama. Cyberlaw akan menyelamatkan kepentingan nasional, pebisnis Internet, para akademisi dan masyarakat secara umum, sehingga harus kita dukung. Nah masalahnya adalah apakah UU ITE ini sudah mewakili alias layak untuk disebut sebagai sebuah cyberlaw? Kita analisa dulu sebenarnya apa isi UU ITE itu.

MUATAN UU ITE

Secara umum, bisa kita simpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Muatan UU ITE kalau saya rangkumkan adalah sebagai berikut:
  • Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas)
  • Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
  • UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia
  • Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
  • Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
  • Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
  • Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
  • Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
  • Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
  • Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
  • Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
  • Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising?))
PASAL KRUSIAL

Pasal yang boleh disebut krusial dan sering dikritik adalah Pasal 27-29, wa bil khusus Pasal 27 pasal 3 tentang muatan pencemaran nama baik. Terlihat jelas bahwa Pasal tentang penghinaan, pencemaran, berita kebencian, permusuhan, ancaman dan menakut-nakuti ini cukup mendominasi di daftar perbuatan yang dilarang menurut UU ITE. Bahkan sampai melewatkan masalah spamming, yang sebenarnya termasuk masalah vital dan sangat mengganggu di transaksi elektronik. Pasal 27 ayat 3 ini yang juga dipermasalahkan juga oleh Dewan Pers bahkan mengajukan judicial review ke mahkamah konstitusi. Perlu dicatat bahwa sebagian pasal karet (pencemaran, penyebaran kebencian, penghinaan, dsb) di KUHP sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.

Para Blogger patut khawatir karena selama ini dunia blogging mengedepankan asas keterbukaan informasi dan kebebasan diskusi. Kita semua tentu tidak berharap bahwa seorang blogger harus didenda 1 miliar rupiah karena mempublish posting berupa komplain terhadap suatu perusahaan yang memberikan layanan buruk, atau posting yang meluruskan pernyataan seorang “pakar” yang salah konsep atau kurang valid dalam pengambilan data. Kekhawatiran ini semakin bertambah karena pernyataan dari seorang staff ahli depkominfo bahwa UU ITE ditujukan untuk blogger dan bukan untuk pers Smiley Pernyataan ini bahkan keluar setelah pak Nuh menyatakan bahwa blogger is a part of depkominfo family. Padahal sudah jelas bahwa UU ITE ditujukan untuk setiap orang.

YANG TERLEWAT DAN PERLU PERSIAPAN DARI UU ITE

Beberapa yang masih terlewat, kurang lugas dan perlu didetailkan dengan peraturan dalam tingkat lebih rendah dari UU ITE (Peraturan Menteri, dsb) adalah masalah:

Spamming, baik untuk email spamming maupun masalah penjualan data pribadi oleh perbankan, asuransi, dsb

Virus dan worm komputer (masih implisit di Pasal 33), terutama untuk pengembangan dan penyebarannya

Kemudian juga tentang kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE. Amerika, China dan Singapore melengkapi implementasi cyberlaw dengan kesiapan aparat. Child Pornography di Amerika bahkan diberantas dengan memberi jebakan ke para pedofili dan pengembang situs porno anak-anak

Terakhir ada yang cukup mengganggu, yaitu pada bagian penjelasan UU ITE kok persis plek alias copy paste dari bab I buku karya Prof. Dr. Ahmad Ramli, SH, MH berjudul Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. Kalaupun pak Ahmad Ramli ikut menjadi staf ahli penyusun UU ITE tersebut, seharusnya janganlah terus langsung copy paste buku bab 1 untuk bagian Penjelasan UU ITE, karena nanti yang tanda tangan adalah Presiden Republik Indonesia. Mudah-mudahan yang terakhir ini bisa direvisi dengan cepat. Mahasiswa saja dilarang copas apalagi dosen hehehehe

KESIMPULAN

UU ITE adalah cyberlaw-nya Indonesia, kedudukannya sangat penting untuk mendukung lancarnya kegiatan para pebisnis Internet, melindungi akademisi, masyarakat dan mengangkat citra Indonesia di level internasional. Cakupan UU ITE luas (bahkan terlalu luas?), mungkin perlu peraturan di bawah UU ITE yang mengatur hal-hal lebih mendetail (peraturan mentri, dsb). UU ITE masih perlu perbaikan, ditingkatkan kelugasannya sehingga tidak ada pasal karet yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang tidak produktif

UPDATE (25 April 2008): UU ITE telah mendapatkan nomor dan ditandatangani oleh Presiden SBY pada tanggal 21 April 2008. UU ITE menjadi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara No 58 dan Tambahan Lembaran Negara No 4843

Ditulis oleh Romi Satrio Wahono

Sumber: http://romisatriawahono.net/2008/04/24/analisa-uu-ite/

Download UU-ITE

http://www.jisportal.com/forum/index.php?topic=1142.0

"Blogger" Terancam UU ITE

Pikiran Rakyat ONLINE | BERINTERAKSI melalui dunia maya kian menjadi kebutuhan. Melalui wadah blog, misalnya, para penggunanya bisa mengekspresikan diri dengan bebas secara mudah, murah, dan cepat. Para pemilik blog tidak hanya perorangan, melainkan lembaga, komunitas, dan lain sebagainya. Melalui blog, mereka saling bertukar informasi dan berekspresi, sehingga sarana ini kian menjawab kebutuhan informasi.

Akhir-akhir ini, pengguna blog ekstra waspada. Pasalnya, jika materi blog dianggap menghina seseorang, pemilik blog tersebut bisa diancam pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar. Adalah Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan ancaman itu. Secara lengkap, ayat itu berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Selanjutnya, tercantum di Pasal 45 UU ITE, sanksi pidana bagi pelanggar pasal 27 ayat (3) yaitu penjara enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.

Kehadiran pasal itu membuat geram para blogger, lembaga swadaya masyarakat pemilik situs, dan para pengelola situs berita online. Mereka merasa terancam haknya menyiarkan tulisan, berita, dan bertukar informasi melalui dunia maya. Pasal itu dianggap ancaman terhadap demokrasi. Kini, mereka ramai-ramai mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (3) UU ITE kepada Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.

Contoh kasus yang tejerat pasal tersebut dialami Narliswiandi Piliang alias Iwan Piliang yang menjadi tersangka pencemaran nama baik atas laporan anggota DPR RI Fraksi PAN Alvin Lie. Iwan dijerat hukuman enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar terkait tulisannya di blog pribadinya. Tulisan Iwan dalam blog tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik sehingga dianggap melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sebagai upaya membela diri, Iwan mengajukan permohonan uji materi pasal yang digunakan untuk menjeratnya itu.

Saat ini, proses persidangan uji materi Pasal 27 ayat (3) UU ITE masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Kuasa hukum Iwan Piliang, Wasis Susetio mengaku sedang mempersiapkan saksi ahli untuk dihadirkan dalam sidang selanjutnya. "Kami akan mendatangkan saksi ahli di antaranya Onno W. Purbo," ujar Wasis. (Lina Nursanty/"PR")***

Sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

Jumat, 10 Juli 2009

PENGGUNAAN ICT (INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGY) DALAM PEMBELAJARAN

PERSPEKTIF MATA PELAJARAN MATEMATIKA,IPA,IPS DAN PKN

DI SEKOLAH


Oleh : Drs.Akhmad Solikhin, S.Pd, MM

(Dosen Fakultas Psikologi UPI YAI)


1. e-Learning

Elektronik atau belajar dengan bantuan komputer sudah ada sejak 1970.

Dengan menggunakan monitor layar hijau melalui sebuah komputer mainframe berkecepatan rendah, tetapi apakah metode tersebut dapat dikatakan sebagai e-Learning. Tentu saja hal tersebut bukan merupakan jawaban yang tepat mengenai e-Learning. Tanpa definisi yang jelas mengenai e-Learning, sangatlah sulitmemutuskan benar atau tidak untuk disebut sebagai e-Learning.

1.1. Definisi e-Learning

Berbagai pendapat dikemukan untuk dapat mendefinisikan e-Learning secara tepat. e-Learning sendiri adalah salah satu bentuk dari konsep Distance Learning..Bentuk e-Learning sendiri cukup luas, sebuah portal yang berisi informasi ilmu pengetahuan sudah dapat dikatakan sebagai situs e-Learning. E-Learning atau Internet enabled learning menggabungkan metode pengajaran dan teknologi sebagai sarana dalam belajar. (Dr. Jo Hamilton-Jones).e-Learning adalah proses belajar secara efektif yang dihasilkan dengan cara menggabungkan penyampaian materi secara digital yang terdiri dari dukungan danlayanan dalam belajar. (Vaughan Waller, 2001) 6

Definisi lain dari e-Learning adalah proses instruksi yang melibatkan penggunaan peralatan elektronik dalam menciptakan, membantu perkembangan,menyampaikan, menilai dan memudahkan suatu proses belajar mengajar dimana pelajar sebagai pusatnya serta dilakukan secara interaktif kapanpun dan dimanapun.

1.2. Konsep e-Learning

Metode pengajaran tradisional masih kurang efektif jika dibandingkan dengan metode pengajaran modern. Sistem e-Learning diharapkan bukan sekedar menggantikan tetapi diharapkan pula untuk dapat menambahkan metode dan materi pengajaran tradisional seperti diskusi dalam kelas, buku, CD-ROM dan pelatihan komputer non internet.

Berbagai elemen yang terdapat dalam sistem e-Learning adalah :

* Soal-soal : materi dapat disediakan dalam bentuk modul, adanya soalsoal yang disediakan dan hasil pengerjaannya dapat ditampilkan. Hasil tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur dan pelajar mendapatkan apa yang dibutuhkan.

* Komunitas : para pelajar dapat mengembangkan komunitas online untuk memperoleh dukungan dan berbagi informasi yang saling menguntungkan.

* Pengajar online : para pengajar selalu online untuk memberikan arahan kepada para pelajar, menjawab pertanyaan dan membantu dalam diskusi.

* Kesempatan bekerja sama : Adanya perangkat lunak yang dapat mengatur pertemuan online sehingga belajar dapat dilakukan secara bersamaan atau realtime tanpa kendala jarak.

* Multimedia : penggunaan teknologi audio dan video dalam penyampaian materi sehingga menarik minat dalam belajar.

2. Kelebihan dan Kekurangan e-Learning

2.1. Kelebihan e-Learning

Dalam bentuk beragam, e-Learning menawarkan sejumlah besar keuntungan yang tidak ternilai untuk pengajar dan pelajar :

  1. Pengalaman pribadi dalam belajar : pilihan untuk mandiri dalam belajarmenjadikan siswa untuk berusaha melangkah maju, memilih sendiri peralatanyang digunakan untuk penyampaian belajar mengajar, mengumpulkan bahanbahan sesuai dengan kebutuhan.

  2. Mengurangi biaya : lembaga penyelenggara e-Learning dapat mengurangi bahkan menghilangkan biaya perjalanan untuk pelatihan, menghilangkan biaya pembangunan sebuah kelas dan mengurangi waktu yang dihabiskan oleh pelajaruntuk pergi ke sekolah.

  3. Mudah dicapai: pemakai dapat dengan mudah menggunakan aplikasi e-Learningdimanapun juga selama mereka terhubung ke internet. e-Learning dapat dicapaioleh para pemakai dan para pelajar tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu.

  4. Kemampuan bertanggung jawab : Kenaikan tingkat, pengujian, penilaian, dan pengesahan dapat diikuti secara otomatis sehingga semua peserta (pelajar,pengembang dan pemilik) dapat bertanggung jawab terhadap kewajiban merekamasing- masing di dalam proses belajar mengajar.

  5. ICT dapat menghadirkan informasi baru sehingga membantu siswa memahami hal-hal yang belum dipahami.

  6. Menggunakan ICT bagi guru pada hakekatnya mengembangkan cara mengajar sesuai dengan kemajuan tehnologi terutama dapat mengikuti perkembangan Negara-negara maju.

  7. Merangsang daya kreatifitas berpikir siswa.

2.2. Kekurangan e-Learning

Beberapa kekurangan yang dimiliki oleh pemanfaatan e-Learning:

  1. Kurangnya interaksi antara pengajar dan pelajar atau bahkan antar pelajar itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar mengajar.

  2. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial.

  3. Proses belajar mengajar cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan.

  4. Berubahnya peran pengajar dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT (Information, Communication and Technology).

  5. Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet ( mungkin hal ini berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer).

  6. Kurangnya mereka yang mengetahui dan memiliki keterampilan tentang internet.

  7. Kurangnya penguasaan bahasa komputer.

3. Pengenalan Praktis e learning.

Penggunaan ICT dalam pendidikan meliputi 2 hal yaitu aspek pengajaran yang melibatkan guru menggunakan ICT dan aspek pembelajaran yang melibatkan murid menggunakan ICT.

Mengapa kita menggunakan ICT ?

  • Meningkatkan pemahaman terhadap pelajaran.

  • Meningkatkan motivasi.

  • Memberikan murid menentukan pembelajaran sendiri

  • Mengakses informasi yang sukar diperoleh.

  • Meningkatkan kreativitas.

  • Meningkatkan kemahiran ICT.

3.1. Penggunaan ICT dalam Pengajaran dan pembelajaran.

(a) Tutorial.

ICT digunakan untuk pembelajaran tutorial apabila digunakan untuk menyampaikan informasi/pelajaran berdasarkan urutan urutan yang telah ditetapkan.

Pembelajaran tutorial meliputi :

  • Pembelajaran ekspositori yaitu penjelasan terperinci.

  • Demonstrasi dan latihan.

(b) Eksplorasi.

Penggunaan ICT untuk pembelajaran berlaku apabila ICT digunakan sebagai media untuk :

  • mencari dan mengakses informasi dari internet.

  • melihat demonstrasi sesuatu kejadian sesuai urutan dengan software dan hardware.

(c). Alat aplikasi.

ICT dikatakan sebagai alat aplikasi apabila membantu murid melaksanakan tugas.

Contoh : - membuat dan menganalisa diagram dalam pelajaran matematika.

(d) Komunikasi.

ICT dikatakan sebagai alat untuk memudahkan komunikasi antara guru dengan murid dalam mengirim,dan menerima informasi.

4. Contoh – contoh praktis e learning dalam kelas.

4.1. Pembelajaran dengan Internet.

Kompetensi Dasar : Siswa dapat mendiskripsikan system tata surya secara sederhana

Langkah 1

Murid diminta membuka sumber informasi melalui web pada mesin pencari seperti : http://www.google.com atau http://www.msn.com atau http://www.yahoo.com .

Langkah 2

Ketik “ Tatasurya “ pada kolom mesin pencari lalu klik.

Langkah 3

Setelah muncul beberapa home page atau website, maka suruh siswa memilih salah satunya.Kemudian berikan waktu kepada siswa untuk membaca artikel .

(Biarkan siswa mengakses web atau home page yang berbeda)

Langkah 4

Siswa ditugaskan membuat rangkuman dari web atau home page yang telah dibaca.

Langkah 5

Siswa secara bergiliran mempresentasikan hasil kerjanya dan menyebutkan sumbernya.

Langkah 6

Siswa dengan bantuan guru membuat rangkuman dan kesimpulan .

Catatan :

Langkah langkah ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan dalam pembelajaran.

4.2. Pembelajaran menggunkan e-mail (Elektronik Mail)

Syarat utamanya :

  • Guru dan siswa harus mempunyai email

  • Sekolah mempunyai website

Langkah 1

Guru merumuskan soal pada website sekolah pada kolom yang ditentukan (akademik, evaluasi)

Langkah 2

Siswa disuruh mengakses tugas / soal melalui web site sekolah sesuai dengan kolom yang ditentukan.

Langkah 3

Siswa menjawab pertanyaan/mengerjakaan tugas di e-mail masing-masing dan dikirim (repaly) ke e-mail guru

Langkah 4

Guru mengoreksi jawaban siswa dan mereplay hasil (koreksi atau nilai) dan direplay ke email masing masing siswa.

4.3 Pembelajaran menggunakan Soft Ware Pendidikan ( Education Software )

Langkah 1

Guru harus mengeksplor terlebih dulu software pendidikan yang akan digunakan.

Langkah 2

Guru membuat scenario pembelajaran sesuai dengan content software

Langkah 3

Guru mengajar dengan menggunakan software tersebut dengan tetap memperhatikan bahwa software hanya sebagai alat Bantu mengajar.

Sumber : Media Artikel PsikoMedia.com