Penulis : Trimo, S.Pd.,M.Pd.
Saat berdiskusi dengan teman-teman seprofesi mengkaji berbagai fenomena peningkatan mutu pendidikan, penulis "diserang" habis-habisan lantaran memberi pernyataan tentang kekuranggigihan guru dalam mengembangkan kompetensinya, baik kompetensi personal, professional, dan kemasyarakatan.
Berbagai fenomena kritik yang penulis lontarkan tentang "ketidakberdayaan" guru juga diamini oleh teman-teman guru. Bahkan, dianggap cocok mewakili kondisi guru saat ini. Fenomena kritis yang dihadapi guru merupakan refleksi "kejenuhan" dan "kebingungan" guru dalam menanggapi ide-ide ideal dari pemerintah (Depdiknas).
Sekadar mengingatkan bahwa di sekolah muncul hampir bersamaan berbagai inovasi pembelajaran, seperti :
(1) pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM),
(2) pembelajaran dengan portofolio,
(3) pembelajaran kontekstual, dan
(4) pembelajaran dengan model Quantum
Learning dan Quantum Teaching, dan berbagai model pembelajaran inovatif lainnya.
Jika dikaji secara mendalam, semua model pembelajaran yang bernuansa inovatif bermuara pada pentingnya keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran. Proses pembelajaran "baru" tersebut identik dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) tempo dulu, hanya berbeda pengemasannya.
Fenomena Kritik
Bukan bermaksud untuk menempatkan guru pada sudut sempit penuh debu dan tak leluasa bernafas, jika ada asumsi sederhana bahwa guru masih belajar memaknai interaksi. Bahkan, belum bisa "berubah" dalam konteks pentingnya penerapan inovasi pembelajaran.
Semua guru tahu dan mengerti tentang mengglobalnya dunia dengan segala pengaruh yang ditimbulkannya. Ironisnya, ada kecenderungan guru kurang tanggap terhadap berbagai perubahan. Guru hanya mencukupkan dirinya untuk tahu tapi enggan untuk menelaah secara mendalam ketahuannya.
Ada guru yang sinis terhadap inovasi tapi suka menganggukkan kepala tanda setuju tanpa mengkaji secara mendalam makna anggukkan kepala tersebut. Demikian juga, guru lebih senang "nggrundel" saat datang sebuah perubahan tanpa mencerna makna perubahan tersebut.
Ada guru yang lebih suka menggunakan LKS (baca: Lembar Kesengsaraan Siswa) tanpa melalui proses pembelajaran yang bermakna. Dengan LKS, materi pelajaran bisa diselesaikan dalam sekejap.
Ada guru yang lebih senang menggunakan "ancaman" untuk mengingatkan siswa daripada menerapkan teknik-teknik profesionalnya saat dididik jadi guru. Padahal guru sudah mempelajari teori pemberian reward dan memahami bahwa memberikan reward bagi siswa merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.
Ada guru yang lebih bangga menjadi satu-satunya sumber belajar tanpa berpikir perlunya berinteraksi dengan "makhluk" lain di luar dirinya. Menjadi pewarta materi dengan siswa yang duduk tenang tanpa perlawanan, sering menjadi kebanggaannya. Padahal keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran merupakan conditio sine qua non atau mutlak dilakukan.
Ada guru yang lebih senang menyimpan alat peraga secara rapi daripada memanfaatkan alat tersebut untuk kepentingan proses pembelajaran. Padahal guru sudah mempelajari teori perkembangan kognitifnya Piaget dan telah memahami dari zaman dulu bahwa pembelajaran dengan alat peraga lebih bermakna daripada pembelajaran yang "kering".
Ada guru yang lebih senang melakukan manipulasi data khususnya dalam pengerjaan nilai. Apalagi pengerjaan rapor dalam kurikulum berbasis kompetensi. Dalam konteks ini, konon guru tidak perlu dilatih karena sudah memiliki keterampilan "memanipulasi" yang diperoleh dari pengamatan dan pengalaman secara turun-temurun.
Ada guru yang lebih menggunakan sesuatu produk pembelajaran bersifat "instan" daripada berlatih mendesain sendiri sebagai tanda aktualisasi kompetensi guru.
Ada guru yang tidak mau belajar membuat karya ilmiah dan memilih golongannya mentok di IVA sehingga merasa "bebas administrasi". Ada guru yang menggunakan siswanya sebagai objek "les privat" dan memberikan perhatian khusus bagi siswa yang mengikuti les privatnya,
Ada guru lainnya yang dapat dikaji secara mendalam, yang bermuara pada kurangnya guru peduli terhadap pendidikan dalam konteks mikro (pembelajaran) dan konteks makro (pendidikan anak negeri).
Namun, di antara yang kurang peduli terhadap pendidikan setidaknya masih banyak guru yang peduli terhadap pendidikan walaupun kapasitasnya belum optimal. Ironisnya, sistem penggajian di negeri Indonesia bukan berdasar pada kegigihan guru dalam mendesain pembelajaran bermakna namun lebih menghargai masa kerja.
Kondisi tersebut sudah barang tentu rentan permasalahan. Seorang guru yang menerapkan pembelajaran secara teacher centered tidak akan berpengaruh terhadap gaji yang diterima dibanding guru yang mengajar secara student centered.
Keterampilan Dasar Mengajar
Sanjungan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa agaknya menjadikan guru lebih bangga terhadap profesi mulia tersebut. Apalagi, batas sanjungan tersebut sangatlah tipis. Artinya, orang tidak akan membedakan sanjungan tersebut terhadap guru yang peduli terhadap pendidikan dan yang kurang peduli.
Rutinitas umum yang sering dilakoni guru adalah mengajar. Dalam konteks mengajar inilah sebenarnya orang dapat memaknai seorang guru peduli terhadap pendidikan apa tidak. Setidaknya guru yang peduli terhadap pendidikan dalam konteks mikro perlu menguasai keterampilan dasar mengajar.
Lantaran menuju satu muara pembelajaran yang bermakna maka segala bentuk model inovasi pembelajaran sudah barang tentu berpulang pada kreativitas guru. Karenanya, kita perlu membekali keterampilan dasar mengajar guru. Hal ini sangat penting lantaran semua model pembelajaran terkini tidak akan mampu diterapkan guru apabila tidak menguasai keterampilan dasar mengajar guru. Turney (1973) mengemukakan 8 (delapan) keterampilan dasar mengajar, yakni:
Pertama, keterampilan bertanya yang mensyaratkan guru harus menguasai teknik mengajukan pertanyaan yang cerdas, baik keterampilan bertanya dasar maupun keterampilan bertanya lanjut
Kedua, keterampilan memberi penguatan. Seorang guru perlu menguasai keterampilan memberikan penguatan karena penguatan merupakan dorongan bagi siswa untuk meningkatkan perhatian.
Ketiga, keterampilan mengadakan variasi, baik variasi dalam gaya mengajar, penggunaan media dan bahan pelajaran, dan pola interaksi dan kegiatan
Keempat, keterampilan menjelaskan yang mensyaratkan guru untuk merefleksi segala informasi sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Setidaknya, penjelasan harus relevan dengan tujuan, materi, sesuai dengan kemampuan dan latar belakang siswa, serta diberikan pada awal, tengah, ataupun akhir pelajaran sesuai dengan keperluan.
Kelima, keterampilan membuka dan menutup pelajaran. Dalam konteks ini, guru perlu mendesain situasi yang beragam sehingga kondisi kelas menjadi dinamis.
Keenam, keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil. Hal terpenting dalam proses ini adalah mencermati.aktivitas siswa dalam diskusi.
Ketujuh, keterampilan mengelola kelas, mencakupi keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal, serta pengendalian kondisi belajar yang optimal.
Kedelapan, keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan, yang mensyaratkan guru agar mengadakan pendekatan secara pribadi, mengorganisasi-kan, membimbing dan memudahkan belajar, serta merencanakan dan melaksana-kan kegiatan belajar-mengajar.
Penerapan keterampilan dasar mengajar secara holistik setidaknya dapat dijadikan cermin bagi guru untuk melakukan efikasi diri dan efikasi kontekstual. Efikasi diri berkaitan dengan keyakinan guru akan kemampuan dalam mendesain pembelajaran bermakna. Efikasi kontekstual bermuara pada pentingnya guru memiliki kesadaran hakiki akan keterbatasan kemampuan dalam menerapkan proses pembelajaran bermakna di kelas.
4 Pilar Pendidikan
Dalam konteks penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kurikulum 2004) dan sejalan dengan pemberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), konsep pembelajaran bermakna erat kaitannya empat pilar pendidikan yakni: belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
Konsep Learning To Know menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai informator, organisator, motivator, diretor, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator bagi siswanya, sehingga peserta didik perlu dimotivasi agar timbul kebutuhan terhadap informasi, keterampilan hidup, dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya.
Konsep Learning To Do menyiratkan bahwa siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Terkait dengan hal tersebut maka proses pembelajaran perlu didesain secara aplikatif agar keterlibatan peserta didik, baik fisik, mental dan emosionalnya dapat terakomodasi sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.
Konsep Learning To Live Together merupakan tanggapan nyata terhadap arus individualisme serta sektarianisme yang semakin menggejala dewasa ini. Fenomena ini bertalian erat dengan sikap egoisme yang mengarah pada chauvinisme pada peserta didik sehingga melunturkan rasa kebersamaan dan harga-menghargai.
Sedangkan konsep Learning To Be, perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percara diri (self confidence) yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat.
Mengantisipasi berbagai fenomena kritik, ada baiknya guru melakukan efikasi diri dan efikasi kontekstual sehingga memiliki semangat konservatif yang tinggi dan terbebas dari titik kejenuhan.
Oleh karena itu, berpikir divergent dalam memaknai berbagai fenomena kritik perlu dilakukan guru agar mampu menempatkan hati nuraninya ke satu titik kesadaran yang tinggi, yakni kesadaran untuk memberikan yang terbaik untuk anak-anak negeri Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar