Posisi guru dalam satuan pendidikan akan berubah seiring dengan dilaksanakannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Guru harus semakin kritis dan mampu berorganisasi agar tidak lemah dalam struktur badan hukum pendidikan.
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) mengamanatkan pendidikan dan tenaga kependidikan membuat perjanjian kerja dengan pemimpin organ pengelola BHP pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
”Karena pengangkatan berdasarkan perjanjian dengan BHP, semakin jelas posisi guru sebagai tenaga kerja yang seharusnya ikut merujuk kepada undang-undang ketenagakerjaan,” ujar Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman, Rabu (21/1).
Guru sebagai tenaga kerja tentu berhak mendirikan serikat pekerja. Suparman berpendapat, guru yang tergabung dalam serikat pekerja itu yang seharusnya nanti duduk sebagai perwakilan pendidik dan tenaga kependidikan dalam organ representasi pemangku kepentingan.
”Jika konsekuen undang-undang tenaga kerja itu diterapkan, hak-hak guru sebagai pekerja mestinya terlindungi,” kata Suparman.
Guru, misalnya, punya hak mendapatkan upah di atas UMR (upah minimum regional), mendapat Jamsostek, termasuk mendirikan serikat pekerja dan hak mogok mengajar.
Gaji minim
Menurut Suparman, sudah menjadi rahasia umum apabila masih banyak guru non-PNS di Indonesia yang kesejahteraannya masih minim, bahkan mendapat upah di bawah UMR buruh.
Dari sekitar 1,3 juga guru swasta yang ada di Indonesia, menurut Suparman, sekitar 70 persen di antaranya diperkirakan belum memiliki kesejahteraan yang layak.
Beberapa guru honorer memiliki penghasilan hanya Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan serta sebagian sisanya tidak memiliki jaminan sosial dan fasilitas tunjangan pendidikan lain.
Status yayasan
Secara terpisah, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Bandung Moch Said Sediohadi menuturkan, sejak awal pembahasannya, BMPS telah tegas menolak UU BHP.
Menurut dia, UU BHP akan kian menambah keruwetan di bidang pendidikan, khususnya yang terkait kewenangan yayasan dan sekolah swasta.
Moch Said Sediohadi mengatakan, sekarang persoalan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 dan PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan belum aman. Belum lagi menyesuaikan diri dengan UU Yayasan dan ketentuan pelaksanaanya, PP No 63/2008.
”Sekarang masih banyak yayasan yang belum menyesuaikan dengan PP ini dan jadi masalah. Sekarang tambah ruwet lagi dengan adanya UU BHP,” ujarnya. Selain prosedur yang berbelit-belit, implementasi UU BHP yang menuntut pengalihan status lembaga dan aset dikhawatirkan berimplikasi pada biaya pendidikan.(INE/JON)
Sumber: Harian Umum Kompas
0 komentar:
Posting Komentar